Gerakan Antifraud Nasional Diperkuat dalam NAFC 2025 di Yogyakarta

Forum tahunan yang digagas oleh ACFE Indonesia Chapter ini telah memasuki tahun ke-16 penyelenggaraan sejak pertama kali dihelat pada 2010.

Dok. Humas Pemda DIY
Pembukaan National Anti-Fraud Conference (NAFC) 2025 di Yogyakarta, Rabu (25/6/2025). Konferensi yang telah memasuki tahun ke-16 ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat gerakan antikorupsi dan pemberantasan kecurangan. 

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, turut menegaskan pentingnya integritas sebagai fondasi tatanan kehidupan sosial dalam pidato pembukaannya pada National Anti-Fraud Conference (NAFC) 2025.

Mewakili Pemda DIY, ia menyampaikan apresiasi atas dipilihnya Yogyakarta sebagai tuan rumah konferensi, seraya menyebutnya sebagai kehormatan besar bagi kota yang senantiasa menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keteladanan moral.

“Yogyakarta menjadi simpul perjumpaan para pemikir, penyelidik, dan pemangku kebijakan dalam ikhtiar luhur membangun tatanan kehidupan yang bersih dari fraud,” ujar Sri Sultan HB X

Ia menyambut tema konferensi tahun ini, 'Becik Ketitik, Ala Ketara', sebagai prinsip etik sekaligus keniscayaan kosmis dalam tradisi Jawa—bahwa kebenaran pada akhirnya akan tampak, dan keburukan niscaya tersingkap.

Dalam kerangka budaya Jawa, kata Sultan, praktik korupsi dan fraud—yang disebut sebagai “corah”—merupakan bentuk “angkara” atau pengkhianatan terhadap harmoni sosial, dan karenanya harus dilenyapkan demi terwujudnya tatanan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yaitu dunia yang indah, sejahtera, dan selaras.

Lebih lanjut, Sri Sultan HB X menekankan bahwa fraud bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi penghianatan terhadap amanah publik. 

Pelakunya, dalam istilah budaya, digolongkan sebagai “brama corah”—yakni perusak tatanan kepercayaan.

Karena itu, katanya, respons terhadap fraud harus bersifat holistik, mencakup pendekatan administratif, sosial, ekonomi, kultural, hingga teknologi.

Ia merujuk sejumlah riset terbaru, termasuk publikasi Journal of Risk and Financial Management (2024), yang menunjukkan efektivitas penerapan teknologi seperti machine learning dalam mendeteksi pola fraud kompleks di sektor digital.

Penelitian Mohanty dkk (2023) juga mencatat bahwa penggunaan perangkat AI seperti Feedzai dan Teradata mampu meningkatkan efisiensi dan reputasi lembaga keuangan dalam mendeteksi fraud secara real-time.

Namun, Sultan mengingatkan, teknologi saja tidak cukup. Diperlukan “daya juang kultural”—yakni keberanian kolektif untuk merawat nilai-nilai seperti satya (kesetiaan pada kebenaran), pamong (pengayoman), dan rumangsa melu handarbeni (rasa memiliki terhadap tanggung jawab publik).

“Membangun ekosistem anti-fraud bukan sekadar kerja lembaga atau algoritma, melainkan panggilan moral setiap insan yang ingin dunia ini tetap elok dan adil,” tegasnya.

Gubernur menutup sambutan dengan mengajak seluruh peserta hadir sebagai bagian dari solusi—dengan pikiran jernih, tindakan berani, dan komitmen nilai yang kokoh. Ia menegaskan kembali relevansi nilai-nilai seperti Hamemayu Hayuning Bawana dan Ambrasta Dur Hangkara sebagai kompas moral kolektif dalam menjaga keadilan dan keseimbangan di tengah arus globalisasi dan disrupsi teknologi.

“Selamat datang di Yogyakarta,” ucap Sultan, seraya berharap seluruh agenda NAFC 2025 berjalan lancar, membuahkan hasil yang bermakna, dan menjadi pijakan bersama menuju tata kelola yang lebih bersih, akuntabel, dan berintegritas. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved