Kasus Warung Bakso Babi di Ngestiharjo Bantul, Pemda DIY Sebut Pentingnya Label Halal dan Nonhalal

Sekda DIY menegaskan pentingnya keterbukaan informasi bagi pelaku usaha yang menjual produk nonhalal agar konsumen tidak merasa dirugikan.

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Sekda DIY, Ni Made Dwi Panti Indrayanti. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kasus warung bakso di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, yang dipasangi spanduk bertuliskan 'Bakso Babi' oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) setempat terus menjadi perbincangan publik. 

Video dan foto spanduk tersebut viral di media sosial setelah diunggah oleh akun Instagram @oktadenta.

Dalam unggahan itu disebutkan, spanduk dipasang karena keresahan warga yang melihat sejumlah perempuan berhijab makan di warung tersebut.

Menanggapi viralnya kasus tersebut, Sekretaris Daerah (Sekda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ni Made Dwipanti Indrayanti, menyampaikan bahwa pemerintah daerah memiliki aturan yang menjadi dasar hukum bagi pelaku usaha dalam memastikan kehalalan produk.

Ia menegaskan pentingnya keterbukaan informasi bagi pelaku usaha yang menjual produk nonhalal agar konsumen tidak merasa dirugikan.

“Seharusnya memang ada informasi terkait hal itu (kandungan babi pada bakso) agar konsumen juga tidak dijerumuskan untuk hal-hal yang dilarang. Tapi karena tidak ketahuan (mengandung babi), menjadi salah. Harapan saya supaya jangan meledak seperti kasus di Solo yang ayam goreng,” ujar Made.

Menurutnya, Pemerintah Daerah DIY memiliki sejumlah program yang membantu pelaku usaha dalam memperoleh sertifikasi halal, di antaranya melalui Dinas Koperasi dan UKM.

“Makanya ada program fasilitasi sertifikasi halal dari pemerintah, termasuk yang dilakukan oleh Pemda DIY antara lain melalui Dinas Koperasi dan UKM DIY,” katanya.

Secara hukum, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY, Yuna Pancawati, menjelaskan bahwa terdapat beberapa regulasi daerah yang mengatur tentang jaminan produk halal.

Ia menilai kasus ini berkaitan dengan Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 5 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal serta Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 27 Tahun 2018 tentang Pengawasan dan Sertifikasi Produk Halal.

“Perda Nomor 5 Tahun 2014 mengatur tentang jaminan produk halal di DIY. Aturan ini mencakup kewajiban bagi pelaku usaha di wilayah DIY untuk menjamin bahwa produk yang diproduksi atau diperdagangkan memenuhi standar halal. Ini juga mencakup kewajiban untuk mencantumkan label halal pada produk makanan dan minuman yang beredar di pasar,” papar Yuna.

Ia menambahkan bahwa aturan tersebut juga mengatur mekanisme pendaftaran produk halal agar mendapatkan sertifikat dari lembaga yang diakui, serta memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan. 

“Soal sertifikasi halal, kewenangan kami juga diatur dalam Perda ini, yakni melakukan penyuluhan kepada pelaku usaha tentang pentingnya produk halal dan proses sertifikasinya. Sedangkan, Pergub Nomor 27 Tahun 2018 memberikan penjabaran lebih lanjut terkait pelaksanaan Perda Nomor 5 Tahun 2014,” katanya.

Dalam Pergub Nomor 27 Tahun 2018, lanjut Yuna, diatur hal-hal teknis seperti prosedur pengajuan sertifikasi halal dan mekanisme pengawasan produk yang beredar. 

“Pergub ini juga menyatakan pentingnya kolaborasi antara Pemerintah DIY dan lembaga sertifikasi halal yang diakui, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia). Pemda DIY melalui dinas terkait juga melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat dan pelaku usaha mengenai pentingnya produk halal, termasuk cara memperoleh sertifikat halal, serta aturan penggunaan logo halal pada produk makanan,” jelasnya.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved