Kata Ketua RT soal Bakso Babi di Bantul, Pemilik Pilih Tidak Komentar

Ketua RT 4, Padukuhan Dukuh IV Cungkuk buka suara soal bakso babi yang viral di media sosial. Ia mengungkapkan S berujalan bakso sejak 1990

Dok. DMI Ngestiharjo
BAKSO BABI - Proses pemasangan spanduk bakso mengandung babi di salah satu warung di Ngestiharjo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta oleh DMI Ngestiharjo dan MUI pada Jumat (24/10/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM, NANTUL - Ketua RT 4, Padukuhan Dukuh IV Cungkuk, Kalurahan Ngestiharjo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Bambang Handoko, buka suara soal bakso babi yang viral di media sosial.

Ia mengaku sudah pernah menyampaikan kepada pemilik usaha bakso babi yakni S, untuk memasang spanduk tulisan nonhalal agar tidak meresahkan masyarakat setempat. Oleh pemilik usaha atau S, tulisan nonhalal itu sudah pernah dipasang, namun dihilangkan lagi. 

"Pernah tulisan nonhalal itu dipasang, tapi dengan tulisan kecil. Terus saya tegur, tulisannya dipasang agak besar. Tulisannya pakai karton gitu. Kemudian, yang terakhir ini pemasangan spanduk dari pemuda muslim setempat dan kemarin diganti dari MUI," ucapnya, saat dijumpai di rumah Handoko yang berjarak sekitar 50 meter dari usaha Bakso Babi, Senin (27/10/2025).

Dikatakannya, tempat usaha Bakso Babi itu bukan tempat pribadi S, melainkan sewa kepada seorang warga setempat. Yang bersangkutan selama ini hanya tinggal di Cebongan, Kalurahan Ngestiharjo atau berjarak sekitar 300 meter dari lokasi usaha. Yang bersangkutan juga disebut-sebut warga asli Ngestiharjo.

Ia pun mengungkapkan bahwa S telah berujalan bakso sejak tahun 1990-an. Bahkan, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi usaha bakso babi itu sudah banyak tahu jika bakso buatan S mengandung bahan nonhalal. Lain halnya dengan masyarakat luar kampung tersebut yang sampai saat ini banyak belum mengetahui bahwa bakso buatan S mengandung bahan nonhalal dikarenakan tidak diberi lebel nonhalal.

"Selama ini enggak ada (masyarakat setempat yang menegur pembeli bakso buatan S saat sebelum diberi lebel nonhalal). Apalagi, saya sendiri kan tidak pernah di rumah (jarang di rumah dikarenakan memiliki kesibukan lain). Saya sebagai RT di sini jarang di rumah. Kemudian, pantauan saya tidak begitu ketat," tuturnya.

Usaha bakso babi itu pun disebut-sebut buka setiap pukul 14.00 WIB sampai selepas magrib. Pembelinya pun dinilai cukup ramai dan diduga ada pula konsumen yang berasal dari luar kota. Namun, setelah spanduk tulisan bakso babi dipasang, ternyata konsumennya tidak berkurang.

"Setelah dipasang tulisan bakso babi, beberapa hari ini sudah tidak ada konsumen yang menggunakan jilbab beli di sana. Tapi, sebelum itu, ya kadang-kadang saya juga melihat dan mendakati pembeli jilbab itu untuk menjelaskan bahwa bakso itu ada kandungan babi atau non halal," ujar Handoko.

Usut punya usut, berdasarkan KTP, kata Handoko, penjual bakso babi itu memeluk agama Islam. Kini, usaha itu dijalani oleh dua orang yakni S dan saudara ipar S. Sedangkan, istri S sudah meninggal dunia sejak beberapa waktu lalu. 

"Kalau bersapa atau saat saya lewat gitu, ya sering sapa dengan mereka. Tapi, ya mereka enggak pernah ke sini. Komunikasi kami tetap baik. Tapi, kalau sama warga setempat malah acuh tak acuh, mbak," papar Handoko.

Lebih lanjut, penjual bakso babi itu selapas magrib kerap langsung pulang dan tidak mampir ke warga setempat. Artinya, yang bersangkutan ke lokasi usaha hanya untuk mencari nafkah dan tidak melakukan komunikasi dengan warga setempat. 

Sementara itu, S saat dijumpai memilih bungkam atau tidak memberikan komentar apapun kepada Tribunjogja.com. Kala itu, ia terlihat ditemani oleh saudara iparnya untuk melayani beberapa konsumen.

"Enggak mau (beri tanggapan). Enggak. Takut salah," ucap saudara ipar S.(nei)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved