Human Interest Story
Menyemai Iman di Balik Jeruji Besi, Kisah Manasik Haji Warga Binaan Lapas Yogyakarta
Bukan di Tanah Suci, tetapi di balik tembok besi, mereka menapaki manasik haji dengan hati penuh harap dan air mata yang tak tertahan.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
“Saya juga ikut melatih fisik napi baru, dibantu teman-teman dari eks-TNI. Selain itu, saya ikut tahfiz, pelatihan khutbah, bahkan belajar kitab kuning seperti di pesantren,” tuturnya.
Aktivitas yang dijalaninya membuat EA merasa lapas bukan sekadar tempat hukuman, tetapi ruang pendidikan dan pembenahan diri.
“Saya merasa seperti sedang mondok,” katanya.
Saat ditanya pelajaran terbesar yang ia dapatkan selama di dalam lapas, EA menyebut dua hal: sabar dan syukur.
“Dua ilmu ini tidak saya pelajari di sekolah. Tapi saya dapatkannya di sini, dalam keterbatasan. Saya belajar sabar menanti waktu, sabar menghadapi diri sendiri. Saya belajar bersyukur meski dalam keadaan paling sempit,” ungkapnya.
EA menegaskan bahwa ilmu itu akan menjadi bekal utamanya untuk kembali ke tengah keluarga dan masyarakat.
Ia ingin menjadi pribadi yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih bermanfaat.
Jika tidak ada halangan, bulan depan EA akan menghirup udara bebas setelah menjalani hukuman selama satu tahun.
Momen ini sekaligus bertepatan dengan perayaan Iduladha.
“Setelah bebas, saya ingin sebulan penuh bersama keluarga. Setelah itu saya akan fokus bekerja tiga bulan, lalu sisanya saya manfaatkan untuk menata hidup. Saya punya tekad, dengan pertolongan Allah, saya bisa bangkit,” katanya tegas.
Ia menyebut tahun di balik jeruji sebagai masa pembenahan, bukan kehancuran. Baginya, ini bukan akhir, melainkan awal yang lebih baik.
“Bismillahirrahmanirrahim. Saya ingin menjadikan hidup saya lebih berarti. Terima kasih kepada Allah, kepada lapas, kepada semua yang membimbing saya,” ucapnya.
Sekadar informasi, sebanyak 213 warga binaan mengikuti kegiatan manasik haji dan umrah yang diselenggarakan Lapas Kelas IIA Yogyakarta sebagai bagian dari program pembinaan kepribadian, khususnya untuk pembinaan kerohanian Islam.
Dari total peserta, sekitar 50–60 orang mengenakan pakaian ihram, sementara sisanya memakai baju Muslim karena keterbatasan jumlah kain ihram.
Kepala Lapas Kelas IIA Yogyakarta, Marjiyanto, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan kali kedua digelar, sebagai bentuk konkret dari pendekatan pembinaan berbasis keimanan dan karakter.
Kisah Zaira Bertels, Bangun Usaha Pemanfaatan Limbah di Sleman Jadi Produk Interior Berskala Ekspor |
![]() |
---|
Cerita Siswi Sekolah Rakyat di Bantul, Sempat Susah Tidur dan Kangen Rumah |
![]() |
---|
Cerita Faishal Ahmad Kurniawan, Putra Bantul yang Lolos Jadi Anggota Paskibraka Nasional 2025 |
![]() |
---|
KISAH Mbah Sutarji, Pejuang Penambal Jalan Berlubang yang Ikhlas Tanpa Minta Imbalan |
![]() |
---|
Kisah Putri Khasanah, Anak Pedagang Asongan di Bantul yang Bisa Kuliah Gratis di UGM |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.