Human Interest Story
Saat Seniman Visual Lulusan ISI Yogyakarta Meresapi Realitas TPST Bantar Gebang
Mereka melihat bagaimana gunungan sampah di Bantar Gebang bukan sekadar buangan limbah bagi para pemulung, melainkan bongkahan emas.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA.COM -- Seniman visual Mutia Bunga (30) sejak 2016 fokus mengangkat isu ekologi dalam karya-karyanya bersama TacTic Plastic.
Ia lahir di Pulau Dewata namun gemuruh untuk berkarya dalam diri Mutia semakin menonjol seiring prosesnya menuntut pendidikan di Institut Seni Rupa Yogyakarta tahun 2015.
Kurang lebih sembilan tahun berkecimpung dalam dunia seni ekologi memantapkan pengalaman Mutia lewat beragam eksperimen karya dan pengabdian sosialnya.
“Yang paling ekstrim itu waktu Bantar Gebang,” ucapnya singkat menyebutkan pengalaman paling membekas selama berdinamika dalam lingkup seni ekologi.
Mutia berkesempatan untuk menjalankan residensi selama satu bulan di tempat pembuangan sampah terbesar se-Asia Tenggara, yang dikenal dengan TPST Bantar Gebang, di Bekasi, Jawa Barat.
Dalam kesempatan ini, Mutia bersama dengan Avant Garde, seorang seniman asal Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.
Mereka berkolaborasi dalam proyek yang dinamakan “Tales From Gunung Emas”. Bukan tanpa alasan proyek tersebut dinamakan demikian.
Namun, mereka melihat bagaimana gunungan sampah di Bantar Gebang bukan sekadar buangan limbah bagi para pemulung, melainkan bongkahan emas.
Selama dua minggu awal masa tinggalnya di Bantar Gebang, Ia memotret dalam kepalanya bagaimana hiruk-pikuk masyarakat di satu kecamatan yang kini menjadi gunungan sampah tersebut.
Ia tinggal dalam satu lingkungan yang sama dengan para pemulung. Hal yang cukup membekas baginya, melihat banyak anak-anak disana tidak bersekolah dan memilih untuk mengais sampah.
“Ada satu keluarga, ayah, ibu dan tiga anak, setiap pagi berangkat berboncengan ke zona tiga (Bantar Gebang) untuk mulung, begitu rutinitas mereka setiap hari,” tutur Mutia menceritakan salah satu hal yang ia amati.
Banyak sisi lain kehidupan yang Mutia amati selama masa tinggalnya di wilayah tersebut.
Bukan jadi kebanggaan baginya karena bisa berdiri di atas gunungan sampah terbesar se-Asia Tenggara.
‘Marah, sedih, putus asa, takjub. Entah,’ tulis Mutia dalam keterangan foto, menggambarkan perasaan campur aduk saat berada dan merasakan langsung situasi di atas gunungan sampah Bantar Gebang.
Anak-Anak yang Merindukan Lingkungan Hijau
| Kisah Eka Noviana, Dosen Farmasi UGM yang Masuk Daftar Top 2 Persen Ilmuwan Berpengaruh Dunia |
|
|---|
| Kisah Poniyati, 30 Tahun Mengabdi Tanpa Kepastian, Kini Resmi Diangkat Jadi PPPK di Bantul |
|
|---|
| Kisah Zaira Bertels, Bangun Usaha Pemanfaatan Limbah di Sleman Jadi Produk Interior Berskala Ekspor |
|
|---|
| Cerita Siswi Sekolah Rakyat di Bantul, Sempat Susah Tidur dan Kangen Rumah |
|
|---|
| Cerita Faishal Ahmad Kurniawan, Putra Bantul yang Lolos Jadi Anggota Paskibraka Nasional 2025 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Mutia-Bungan-TacTic.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.