Sri Sultan HB X Kukuhkan KPH Notonegoro Pimpin Pirukunan Tuwanggana DIY

Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro ditetapkan sebagai Ketua Pirukunan Tuwanggana DIY.

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
PENGUKUHAN - KPH Notonegoro (kanan) dan KPH Yudanegara (kiri) memberikan keterangan seusai pengukuhan Pengurus Pirukunan Tuwanggana Daerah Istimewa Yogyakarta masa bakti 2025–2030 di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis (13/11/2025). 

“Tuwanggono ini di setiap desa kapasitasnya itu berbeda-beda. Ada yang sangat maju sekali. Tapi ada desa-desa yang Tuwanggononya itu mungkin kapasitasnya masih bisa ditingkatkan lagi. Nah ini target saya untuk lima tahun ke depan ini terutama adalah untuk mencoba adanya ekualisasi, equity antar Tuwanggano. Mereka bisa saling berbagi pengalaman, berbagi pembelajaran supaya terjadi pertukaran pengetahuan. Jadi ketimpangan antara satu kalurahan dan yang lainnya itu bisa teratasi,” ujarnya.

Baca juga: Disperindag DIY Catat Fluktuasi Permintaan Ekspor dari AS pada September 2025

Selain itu, KPH Notonegoro juga menegaskan posisi lembaga tersebut dalam tata kelola aset desa.

“Kalau tanah kas desa itu tidak ada kewenangan dari Tuwanggano. Cuma biasanya kalau penggunaan tanah kas desa itu kemudian dikelola oleh warga sendiri, memang yang bergerak itu yang mengelola apakah itu nanti bentuknya sebuah usaha atau apa, itu bisa jadi dikelola oleh Tuwanggano. Tapi tidak dalam fungsi pengawasan,” tuturnya.

Ia menutup dengan penegasan bahwa setiap kalurahan di DIY kini sudah memiliki Tuwanggana yang siap berfungsi penuh.

“Jumlah Tuwanggano di setiap kalurahan sudah ada. Setiap kalurahan ada Tuwanggononya. Sudah ada itu,” ujarnya.

Amanat Sri Sultan HB X

Adapun dalam sambutannya, Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan kembali makna desa sebagai inti kebudayaan dan fondasi keberagaman Indonesia. 

Sultan menilai inisiatif Tuwanggana menjadi cermin kesadaran kolektif warga dalam membangun kesejahteraan dari akar rumput.

“Secara tematik, membaca desa adalah sebuah introspeksi atas eksistensi. Desa bukan semata ruang administratif, tetapi sejatinya adalah laku kebudayaan yang menumbuhkan kehidupan,” ujar Sultan.

“Ketika kita mengeja I–N–D–O–N–E–S–I–A, tersemat di dalamnya kata desa. Misi kita bukan sekadar mengeja huruf, melainkan meneguhkan makna bahwa Indonesia adalah rumah dari keberagaman, dan setiap desa adalah batu bata penyangganya,” imbuhnya.

Dalam konteks itu, Sri Sultan HB X menjelaskan, Tuwanggana hadir sebagai wadah yang menghidupkan kembali semangat gotong royong dan musyawarah akar rumput di DIY.

“Tuwanggana bukan hanya organisasi kemasyarakatan, melainkan cerminan kesadaran kolektif bahwa kesejahteraan dibangun bukan dari atas, melainkan dari bawah, melalui partisipasi dan kesadaran bersama,” ucapnya.

Sultan mengingatkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan modern menuntut organisasi seperti Tuwanggana memiliki wawasan adaptif dan kemampuan bertahan dalam dunia yang penuh kejutan.

“Kita hidup di dunia yang kompleks, sarat kejutan, dan perubahan tak terduga. Karena itu, Tuwanggana dituntut untuk mampu berpikir melampaui kebiasaan: melakukan lompatan pemikiran non-linier, bahkan out of the box, dari terra firma menuju terra incognita, daratan masa depan yang belum tergambar sama sekali,” katanya.

Sultan menyebut para pengurus Pirukunan Tuwanggana yang baru dikukuhkan sebagai 'navigator masa depan sosial Daerah Istimewa Yogyakarta.' 

Peran mereka, kata Sultan, sangat strategis dalam mengoordinasikan seluruh Tuwanggana di tingkat kalurahan, kelurahan, kapanewon, kemantren, hingga kabupaten dan kota agar bekerja secara selaras, kompak, dan penuh semangat pelayanan.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved