Izin Terhambat Kajian BBWSSO, Penambang Progo Minta Tetap Boleh Pakai Pompa Mekanik

Penambang Sungai Progo meminta Pemda DIY mempercepat proses perizinan dan rekomendasi penggunaan pompa mekanik

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
AUDIENSI - Puluhan penambang pasir yang tergabung dalam Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera mendengarkan penjelasan Sekda DIY Ni Made Dwipanti Indrayanti saat audiensi di Kantor Gubernur DIY, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Rabu (12/11/2025). Pertemuan membahas percepatan perizinan penambangan rakyat dan rekomendasi teknis penggunaan pompa mekanik di aliran Sungai Progo. 

Karena itu, Pemda DIY meminta BBWSSO menjelaskan secara rinci dasar kekhawatiran mereka dalam menahan rekomendasi teknis. 

“Kami meminta Balai Besar untuk melakukan kajian. Kajian tersebut harus menjelaskan secara rinci apa yang sebenarnya menjadi kekhawatiran mereka, misalnya terkait gradasi, alur sungai, maupun potensi bahaya terhadap bangunan-bangunan negara seperti bangunan air atau jembatan di sekitar lokasi,” ujarnya.

Ni Made menekankan bahwa kejelasan hasil kajian tersebut penting agar pemerintah dapat memahami secara konkret penerapan kaidah pertambangan yang baik.

“Ketika kita membaca tentang penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, perlu dipahami juga seperti apa bentuk penerapannya—baik dari segi cara maupun alat yang digunakan. Ini yang perlu dijelaskan secara konkret,” katanya.

Tidak Sinkron

Dalam pembahasan bersama BBWSSO, Pemda DIY juga menemukan adanya ketidaksinkronan antara aturan teknis pertambangan dan penetapan zonasi berdasarkan tata ruang wilayah.

“Permasalahan ini bukan hanya soal penggunaan alat berat semata. Ketika zonasi pertambangan sudah ditentukan berdasarkan tata ruang, maka ada area-area tertentu yang masuk zona merah dan tidak boleh dilakukan penambangan. Yang diperbolehkan hanyalah di area palung sungai,” ujar Ni Made.

Namun, ia menilai kondisi lapangan menunjukkan bahwa penambangan di area palung sungai sulit dilakukan tanpa alat bantu.

“Kalau di pinggir sungai, mungkin masih memungkinkan tanpa menggunakan alat berat atau alat sedot. Tapi kalau di area palung sungai, jelas tidak mungkin. Karena itu, kami juga meminta Balai Besar untuk segera memperjelas hasil kajian dan analisisnya, termasuk kemungkinan penerapan teknis di lapangan seperti apa,” katanya.

Lebih jauh, Pemda DIY mendorong agar hasil kajian mampu memberikan batasan yang jelas mengenai aspek teknis dan pengawasan pascaizin.

“Harus ada aturan yang jelas: sejauh mana kegiatan boleh dilakukan, berapa volume yang boleh diambil, dan bagaimana penguatannya di sisi pengawasan. Jika setelah perizinan diberikan ternyata ada pelanggaran, maka pengawasan harus diterapkan. Bila ditemukan pelanggaran, maka dapat diberikan sanksi hingga pencabutan izin,” tutur Ni Made.

Selain sinkronisasi dengan aspek teknis, ia menekankan perlunya konsolidasi antara kebijakan pertambangan dan tata ruang.

“Jika tata ruang sudah mengatur wilayah-wilayah mana saja yang boleh dilakukan penambangan, maka itu yang harus dijadikan acuan utama. Sementara BBWSSO secara teknis perlu menyesuaikan aturannya agar tidak tumpang tindih,” ujarnya.

Menurut Ni Made, regulasi pertambangan tidak bisa diberlakukan secara seragam di seluruh Indonesia. 

“Aturan ini tidak bisa diberlakukan secara nasional secara kaku, karena setiap daerah memiliki karakteristik berbeda. Misalnya, penambangan emas dan pasir jelas berbeda caranya. Begitu juga dengan morfologi sungai—Sungai Progo dan Sungai Opak saja berbeda karakteristiknya,” ujarnya menambahkan.

Pemda DIY menargetkan kajian teknis BBWSSO rampung pada Desember 2025.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved