Pakar UGM Tanggapi Ekowisata Raja Ampat Terancam Pertambangan: Perlu Penegakan Hukum Lingkungan

Ia menegaskan bahwa aktivitas tambang di kawasan hutan, apalagi yang berstatus konservasi, harus melalui prosedur ketat dan berlapis.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Tangkapan Layar YouTube Greenpeace Indonesia
TAMBANG NIKEL di Raja Ampat, Papua 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kisruh pertambangan di kawasan Raja Ampat memantik kekhawatiran luas. Meski sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah dicabut, beberapa perusahaan masih menggugat keputusan tersebut dan berpotensi kembali beroperasi.

Ironisnya, sebagian lokasi tambang berada dalam kawasan Geopark Raja Ampat, wilayah konservasi yang seharusnya dilindungi ketat baik secara hukum maupun etika.

Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., dosen Fakultas Kehutanan UGM yang akrab disapa Mayong, menyuarakan keprihatinannya.

Ia menegaskan bahwa aktivitas tambang di kawasan hutan, apalagi yang berstatus konservasi, harus melalui prosedur ketat dan berlapis. Sayangnya, menurut dia, prosedur ini kerap dipangkas demi kepentingan ekonomi.

Mayong menjelaskan bahwa untuk bisa beroperasi di kawasan hutan, perusahaan tidak cukup hanya memiliki IUP dari Kementerian ESDM, tetapi juga harus mendapatkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementerian Kehutanan.

Ia menyayangkan adanya perusahaan yang melompat langsung ke tahap produksi tanpa izin dan pengawasan yang memadai.

Lemahnya koordinasi antarinstansi disebutnya sebagai celah bagi pelanggaran administratif maupun substantif.

Secara hukum, perusahaan memang bisa menggugat pencabutan izin ke PTUN. Namun, jika pengawasan di lapangan lemah, perusahaan bisa tetap beroperasi diam-diam sambil menunggu hasil gugatan. Ini menunjukkan lemahnya prosedur dan penegakan hukum lingkungan yang tidak menyentuh praktik di lapangan.

Mayong juga menyoroti tantangan geografis Papua Barat Daya, wilayah yang luas, terpencil, dan terdiri dari banyak pulau, yang membuat pengawasan rutin nyaris mustahil.

Setelah berlakunya UU Minerba 2020 dan UU Cipta Kerja, kewenangan perizinan tambang beralih ke pusat, melemahkan peran strategis daerah dalam pengawasan. Ia mengusulkan pendekatan yang lebih desentralistik untuk menjembatani ketimpangan antara kebijakan dan realitas geografis.

Solusi yang ditawarkan adalah membangun sistem pengawasan lintas sektor yang kolaboratif dan adaptif. Kerja sama antara Kementerian Kehutanan, ESDM, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum harus diperkuat. Ditjen Gakkum Kemenhut perlu lebih aktif turun ke lapangan dengan dukungan data spasial dan anggaran yang memadai.

Secara ekologis, dampak pertambangan di pulau kecil seperti Raja Ampat bisa sangat merusak dan permanen.

Penebangan hutan menyebabkan erosi, sedimen menutupi terumbu karang, dan ekosistem laut terganggu. Selain itu, tambang juga mengancam siklus hidrologi, mencemari sumber air, dan memicu konflik sosial akibat krisis air bersih.

Mayong menekankan bahwa kawasan Geopark seharusnya menjadi zona lindung mutlak yang bebas dari kegiatan ekstraktif. Ia mengusulkan status geopark dikunci dalam tata ruang nasional agar tak dapat diganggu gugat.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved