Hermeneutika Korupsi
Pemikiran ini menyiratkan bahwa sebuah pemahaman dan penafsiran teks bersifat relatif terhadap sudut pandang penafsir
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
HERMENEUTIKA secara ilmiah akademik terkait dengan penafsiran teks yaitu penyelidikan tentang makna terhadap sebuah teks. Penafsiran hermeneutika bukan berarti pencarian ‘makna tunggal’, melainkan muncul sebagai segala kemungkinan makna yang disediakan sebuah teks tersebut. Ada dua orientasi penafsiran dalam hermeneutika yaitu penafsiran ‘ke belakang teks’ dan ‘ke depan teks’.
Penafsiran yang dimaksud ‘ke belakang teks’ disebut sebagai ‘interpretasi psikologis’ (psychological interpretation) sebagai cara rekonstruksi sebuah teks berdasar proses mental sang penciptanya. Sedangkan ‘penafsiran ke depan’ dimaksudkan sebagai ‘penafsiran eksistensialis’ (existensialist interpretation) sebagai tujuan untuk menemukan probabilitas makna-makna baru yang kontekstual.
Artinya hermeneutika adalah sebuah cara kerja ‘holistik’ dan ‘kontekstualis’ (contextualist) di mana makna setiap fenomena bergantung pada ‘keseluruhan’ (whole). Dengan kata lain, makna sebuah fenomena atau teks misalnya perbuatan korupsi bergantung pada ‘konteks’ yang di dalamnya teks itu mempunyai sebuah ‘fungsi’.
Pemikiran ini menyiratkan bahwa sebuah pemahaman dan penafsiran teks bersifat relatif terhadap sudut pandang penafsir di mana teks itu berada atau di posisikan. Penafsiran dalam hal ini bersifat historis, kontekstual dan mewaktu, sehingga tidak pernah menghasilkan sebuah tafsiran finalisasi.
Pemikiran model hermeneutika di atas kita menemukan bahwa sebahagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas.
Laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak zaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain.
Ironisnya, pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.
Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga tertangani dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justeru terjadi setelah masa reformasi.
Fenomena ini membuat kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang apa yang dianggap korupsi dan apa yang tidak korupsi. Kita perlu berpikir kembali tentang aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi dari korupsi. Di sinilah, saya mengartikulasikan dan bermaksud meninjau ‘sunami’ korupsi dari perspektif pemikiran filsafat hermeneutika.
Dari uraian tersebut di atas dari kajian filsafat hermeneutika terdapat banyak kekurangan yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap “korup” dan apa yang tidak korup.
Sehingga rumusan tersebut potensial tidak menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai perbuatan “korup”, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan korupsi, padahal sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat dihukum.
Persoalan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya epistemologi penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Disamping itu, dari sisi filsafat hermeneutika pendekatan yang dipergunakan lebih menonjolkan sisi pandang positivistik dibanding sudut pandang pragmatis dan “legal realisme”.
Apa yang diuraikan di atas adalah baru dari satu persoalan saja yaitu persoalan rumusan tindak pidana korupsi. Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan pendekatan berakibat salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan korupsi. Semoga!. (***)
*Oleh: Dr. Junaidi, S.Ag., M.Hum., M.Kom
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom
Tips Pertolongan Pertama untuk Luka Sederhana Pada Anak, Jangan Ditiup! |
![]() |
---|
Reaksi Orang Tua di Bantul soal Maraknya Keracunan MBG: Pemerintah Kurang Profesional |
![]() |
---|
Barca Cari Solusi Penuhi Regulasi Keuangan La Liga, Akankah Fermin Dilepas |
![]() |
---|
Kukuhkan Bulan Dana PMI 2025, Wali Kota Magelang Ajak Masyarakat Peduli Sesama |
![]() |
---|
Klarifikasi Pihak Vidio dan IEG Kasus Siaran Liga Inggris di Klaten Berujung Lapor ke Polisi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.