Bagaimana Penyelesaian Ambalat yang Ideal? Begini Kata Pakar UGM

Penyelesaian ideal adalah menetapkan batas maritim permanen. Alternatifnya adalah pengelolaan bersama wilayah sengketa

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Warta Kota | Alex Suban
AMBALAT: Foto dok ilustrasi. Anggota Satuan Radar 225 Tarakan Kalimantan Utara, memantau radar mengawasi angkasa Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat seiring meningkatnya tensi di perairan tersebut.

Pakar Geospasial Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana, mengingatkan kembali persoalan perbatasan laut antara Indonesia dan Malaysia di kawasan Blok Ambalat, yang sempat memicu ketegangan pada 2005 dan kini kembali mencuat.

“Di tahun 2005, kita hampir perang dengan Malaysia gara-gara Ambalat. Setelah dua dekade berlalu, isunya muncul lagi,” kata Andi, Minggu (10/8/2025).

Ia menjelaskan, Ambalat berada di Laut Sulawesi, di timur Pulau Kalimantan. Batas darat kedua negara telah ditetapkan sejak era kolonial Inggris dan Belanda, membagi Pulau Sebatik menjadi dua.

Akan tetapi, batas itu hanya sampai di pantai, sehingga pembagian wilayah laut belum final.

Ia menyebut, sejak tahun 1960-an, Indonesia mengklaim wilayah dasar laut di kawasan itu sebagai blok konsesi minyak, termasuk Blok Ambalat (1999) dan Ambalat Timur (2004).

Malaysia juga mengklaim wilayah tersebut melalui peta 1979, yang diprotes Indonesia karena dianggap berlebihan.

Ketegangan memuncak pada 2005 ketika Malaysia menawarkan blok konsesi ND6 dan ND7 yang tumpang tindih dengan klaim Indonesia.

Perselisihan turut dipengaruhi status Pulau Sipadan dan Ligitan yang dimiliki Malaysia. Indonesia berpendapat kedua pulau itu hanya berhak atas laut teritorial 12 mil, sementara Malaysia tetap berpegang pada peta klaimnya. Sebagian Blok Ambalat, Ambalat Timur, ND6, dan ND7 berada di wilayah tumpang tindih.

“Penyelesaian ideal adalah menetapkan batas maritim permanen. Alternatifnya adalah pengelolaan bersama wilayah sengketa, sebagaimana pernah diusulkan Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim,” tukasnya.

Diketahui, Blok Ambalat, yang terletak di dekat perpanjangan perbatasan darat Sabah dan Kalimantan Timur, telah lama menjadi titik panas hubungan kedua negara.

Malaysia memasukkan Ambalat dalam peta nasionalnya sejak 1979, sementara Indonesia menolak klaim tersebut dengan dasar hukum laut internasional.

Dikutip laman Kementerian Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) dijelaskan, pemerintah Indonesia berpegang pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang menetapkan status Indonesia sebagai archipelago state. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved