Kritik Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan, Pakar: Selamat Datang di Era Orde Baru Paling Baru

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai keputusan tersebut sebagai bentuk politik penghapusan ingatan

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
JEJAK KORUPSI SOEHARTO: Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, berbicara dalam diskusi bertajuk “Jejak Korupsi Soeharto dan Politik Penghapusan Ingatan” di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (13/11/2025). Dalam forum tersebut, Feri menilai penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sebagai bentuk kemunduran demokrasi dan politik penghapusan ingatan kolektif. 

Ia juga menyinggung kembali berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Soeharto, seperti tragedi Tanjung Priok dan penggusuran besar-besaran di Waduk Kedung Ombo, serta kekerasan di Papua.

Menurut Feri, penetapan Soeharto sebagai pahlawan menjadi pertanda nyata kemunduran demokrasi. Ia menyoroti menguatnya peran militer dalam urusan sipil dan munculnya kembali wacana pemilihan presiden oleh MPR.

“Kalau presiden dipilih MPR, dengan 711 anggota, siapa yang menguasai separuh lebih satu suara, dia menang. Jauh lebih mudah disogok dibanding 160 juta pemilih rakyat,” ujarnya.

“Mereka berdalih demokrasi ribut dan mahal. Tapi seperti kata Hakim Agung AS Stephen Breyer, demokrasi memang ribut dan mahal. Kalau mau tenang, jadilah warga negara otoriter.”

Serupa Orde Baru

Feri menilai pola kekuasaan kini semakin menyerupai Orde Baru, dengan pembatasan kebebasan berpendapat dan kriminalisasi terhadap kritik publik. 

Ketimpangan Struktural dan Lemahnya Layanan Publik

Feri juga menyoroti ketimpangan dalam institusi negara, terutama rendahnya kesejahteraan aparat dan buruknya layanan publik. “Negara ini tidak punya niat agar institusinya bekerja dengan benar,” katanya.

Ia menggambarkan kondisi polisi yang bergaji rendah namun dihadapkan pada beban kerja tinggi. 

“Bayangkan polisi sedang mengejar maling, lalu istrinya menelpon: ‘beras habis’. Fokusnya langsung hilang,” ujar Feri disambut tawa peserta diskusi.

Kritik juga diarahkan pada dunia pendidikan dan layanan kesehatan. Menurutnya, kampus di Indonesia belum menyediakan fasilitas belajar layak. 

“Perpustakaan di sini tutup jam enam sore. Di luar negeri buka 24 jam, bahkan mahasiswa boleh tidur di sana,” ujarnya.

Feri kemudian menuturkan pengalamannya saat menempuh studi di Amerika Serikat, ketika layanan sosial menanggung penuh biaya pengobatan anaknya.

“Tagihan rumah sakit sebesar 23.000 dolar menjadi nol setelah Dinas Sosial turun tangan. Itulah layanan publik yang konstitusional. Di sini, orang sakit malah ditanya KTP dulu,” katanya.

Upaya menulis ulang sejarah

Feri menyebut penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional sebagai bagian dari politik penghapusan ingatan kolektif.

“Ini bukan sekadar penghargaan, tapi upaya menulis ulang sejarah dengan menghapus kejahatan masa lalu,” ujarnya.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved