Kritik Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan, Pakar: Selamat Datang di Era Orde Baru Paling Baru

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai keputusan tersebut sebagai bentuk politik penghapusan ingatan

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
JEJAK KORUPSI SOEHARTO: Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, berbicara dalam diskusi bertajuk “Jejak Korupsi Soeharto dan Politik Penghapusan Ingatan” di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (13/11/2025). Dalam forum tersebut, Feri menilai penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sebagai bentuk kemunduran demokrasi dan politik penghapusan ingatan kolektif. 

Ringkasan Berita:
  • Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengritik penetapan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada Hari Pahlawan
  • Keputusan tersebut dinilai sebagai bentuk politik penghapusan ingatan dan simbol kemunduran demokrasi Indonesia.
  • Feri menegaskan bahwa penetapan gelar pahlawan bagi Soeharto tidak hanya mengabaikan sejarah korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Orde Baru, tetapi juga mencederai semangat reformasi

 

TRIBUNJOGJA.COM - Penetapan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025), memicu perdebatan luas di masyarakat. 

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai keputusan tersebut sebagai bentuk politik penghapusan ingatan dan simbol kemunduran demokrasi Indonesia.

Cederai semangat reformasi

Dalam diskusi bertajuk “Jejak Korupsi Soeharto dan Politik Penghapusan Ingatan” yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (13/11/2025), Feri menegaskan bahwa penetapan gelar pahlawan bagi Soeharto tidak hanya mengabaikan sejarah korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Orde Baru, tetapi juga mencederai semangat reformasi.

“Bayangkan, teladan pejabat kita sekarang adalah seorang terdakwa kasus korupsi. Ketika Soeharto meninggal, status hukumnya masih terdakwa, bukan tersangka,” ujar akademisi yang menjadi sorotan gara-gara film dokumenter Dirty Vote ini.

“Pasal 32 Undang-Undang Tipikor jelas menyebutkan, ketika tersangka atau terdakwa meninggal dunia, negara harus menggugat secara perdata untuk asset recovery. Tapi sampai hari ini, negara gagal melakukannya. Harta kekayaan anak-cucu Soeharto masih menyimpan uang negara yang belum dipulihkan.”

Pencabutan TAP MPR Nomor XI Tahun 1998

Feri menilai keputusan tersebut tidak bisa dilepaskan dari langkah politik sebelumnya, yakni pencabutan TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN pada 2024. Menurutnya, pencabutan itu membuka jalan bagi rehabilitasi simbolik terhadap Soeharto.

“Ketika TAP itu dicabut, tidak ada produk hukum pengganti. Padahal di dalamnya terdapat amar tegas untuk menegakkan hukum terhadap Soeharto dan kroninya,” tegasnya.

“Yang ironis, MPR kini tak lagi punya kewenangan mencabut TAP lama dengan produk sejenis. Jadi langkah itu cacat secara hukum tata negara.”

Warisan Orde Baru kini menguat lagi

Feri menilai bahwa warisan korupsi dan nepotisme di masa Orde Baru masih kuat terasa hingga kini.

Ia mencontohkan bagaimana proyek-proyek besar negara saat itu dikelola untuk menguntungkan keluarga Soeharto, termasuk proyek mobil nasional. 

“Sekarang gagasan seperti itu malah dihidupkan lagi. Kita seperti kembali ke masa lalu,” ujarnya.

Menurut Feri, kekuasaan di masa Orde Baru dibangun dengan praktik manipulatif yang menyingkirkan oposisi. Tradisi itu, katanya, masih berulang dalam sistem politik dan hukum saat ini.

“Kekuasaan yang diambil dengan cara tidak benar akan melahirkan pemerintahan yang juga tidak benar,” ujar Feri. 

“Pemerintahan yang lahir dari proses pemilu koruptif pasti bermasalah. Ini pola yang sama seperti masa Orde Baru.”

Pelanggaran HAM

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved