PSPG UGM Sebut SPPG Belum Siap, MBG Perlu Didesain Ulang: Dipaksakan Jalan Ya Nabrak-nabrak
Ia pun menyayangkan program tersebut tetap dipaksakan berjalan. Apalagi program tersebut hanya berfokus pada target penerima
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Yoseph Hary W
Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Raharjo menyebut keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai tempat karena Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) belum siap.
Ia pun menyayangkan program tersebut tetap dipaksakan berjalan. Apalagi program tersebut hanya berfokus pada target penerima manfaat sebanyak mungkin.
“Nah, masalahnya itu di luar kapasitas yang ada untuk melayani atau menyediakan dari sisi jumlah sasarannya. Jumlah sasaran awal 80 juta siswa yang ingin dicapai. Itu bahkan dikatakan mustahil, karena kesiapannya belum dibuat, tapi dipaksakan jalan, ya nabrak-nabrak,” katanya, Senin (22/09/2025).
“Kesiapan fasilitasnya, SPPG direncanakan 32 ribu, yang terpasang baru 5 ribuan. Itu juga pelaku-pelaku baru. Meskipun sudah dilatih sebelumnya, tapi tidak langsung mahir, sehingga dimungkinan banyak kelalaian. Terutama dalam mengolah produk-produk hewani. Produk hewani lah yang berisiko tinggi terhadap keracunan pangan. Meski ada produk lain, seperti santan,” sambungnya.
Jika program MBG tetap dilanjutkan, pemerintah harus legowo dengan merampingkan target. Selain itu, program MBG juga harus didesain ulang. Ia menilai program MBG lebih efektif jika melalui kantin sekolah.
Ia memandang target 3 ribuan paket per SPPG per hari sangat berat. Jika program MBG melalui sekolah masing-masing, maka akan mengurangi beban SPPG.
Ada sekolah-sekolah yang sudah menyediakan catering. Tentunya sekolah-sekolah akan mencari pihak yang memang sudah berkompeten, fasilitas penunjang sudah tersedia, dan tidak perlu memikirkan distribusi.
Namun, sekolah yang belum memiliki pengalaman dalam menyediakan catering bisa dibantu oleh pemerintah.
“Ketika sekolah yang mengelola, misalnya 300-400 siswa, itu lebih manageable. Artinya dalam menangani lebih cermat, jadi risiko kegagalan, risiko keamanan lebih kecil. Pada ukuran yang kecil-kecil tadi, risiko keracunan juga makin sedikit,” terangnya.
Di samping itu, ia juga menyoroti rendahnya serapan anggaran untuk MBG. Hal itu menunjukkan perancangan program yang salah. Ia menilai tujuan ekonomi tetap tercapai meskipun sekolah yang mengelola MBG. Sebab pihak sekolah juga akan belanja produk-produk lokal.
Pihaknya juga melihat minimnya pengendalian dan pengawasan mutu dalam MBG. Alhasil menu MBG yang diberikan kepada siswa tidak sesuai.
“Kalau itu dikelola oleh kantin sekolah, ada perasaan menyatu dengan yang dilayani. Sehingga akan ada kesungguhan, ada kecermatan, mereka akan merasa yang dilayani adalah anak-anaknya. Meski pengawasan eksternal lemah, tetapi lebih ada motivasi,” ujarnya.
“Mungkin kalau SPPG, yang penting bisa menyediakan jumlah sesuai kontrak, tapi isi mutunya, mereka tidak memperhatikan, tidak terlalu peduli, misalnya buahnya jadi tipis-tipis atau malah belum masa, itu kan jadi mengecewakan. Jadi memang harus didesain ulang, targetnya dirampingkan dan dikelola kantin sekolah,” imbuhnya. (maw)
| Pemkab Kulon Progo Komitmen Dukung Pemerataan Pembangunan dan Kesejahteraan Warga |
|
|---|
| Banyak Kasus Keracunan Massal di Sekolah, Sekber SPAB DIY Susun SOP Penanganan Keracunan |
|
|---|
| Keracunan MBG Terulang di Sleman, Ratusan Siswa dari Tiga Sekolah Alami Mual hingga Diare |
|
|---|
| Sempat Jalani Rawat Inap Karena Keracunan Menu MBG, 1 Siswa SMPN 2 Mlati Sleman Sudah Boleh Pulang |
|
|---|
| Keracunan MBG Lagi, 200an Siswa dan Guru di Mlati Sleman Sakit seusai Santap Makan Gratis |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.