Rapat Oemoem di Yogyakarta: Menolak Lupa, Menolak Gelar Pahlawan bagi Soeharto

Forum ini menyatakan bahwa kebijakan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Rapat Oemoem yang diinisiasi Forum Cik Ditiro di Yogyakarta, Selasa (11/11/2025). 

Ringkasan Berita:
  • Forum Cik Ditiro dan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia menggelar 'Rapat Oemoem' di Jalan Suryodiningratan
  • Rapat Oemoem menyatakan penolakan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto

 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah elemen masyarakat sipil di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Cik Ditiro dan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia menggelar “Rapat Oemoem” di Jalan Suryodiningratan, Selasa (11/11/2025), sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.

Forum ini menyatakan bahwa kebijakan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, pengekangan kebebasan sipil, dan ketidakadilan terhadap perempuan serta masyarakat adat.

Forum Cik Ditiro, yang merupakan wadah konsolidasi masyarakat sipil lintas sektor di Yogyakarta, menyebut kegiatan tersebut sebagai ruang moral dan literasi sejarah bagi publik untuk mengingat kembali praktik kekerasan dan penindasan yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru.

Rapat umum itu menghadirkan penyintas, akademisi, dan aktivis lintas generasi.

Kegiatan diisi dengan sesi testimoni korban, pameran “museum bergerak” berupa foto-foto dokumentasi kekerasan masa Orde Baru, serta “ruang peduli” yang menyediakan tempat bagi peserta untuk menuliskan refleksi dan pesan solidaritas.

Salah satu penyintas yang hadir, Karmi, mengisahkan pengalaman masa kecilnya saat terjadi penangkapan besar-besaran di desanya pada 1965.

Ia menuturkan bagaimana aparat mendatangi rumah-rumah dan menahan warga tanpa proses hukum yang jelas.

“Kami sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Orang-orang dibawa begitu saja dan tidak pernah kembali,” ujar Karmi.

Ia menambahkan, banyak perempuan yang mengalami kekerasan, termasuk pelecehan seksual, namun tak berani bersuara karena takut dan malu.

“Sampai sekarang, hidup kami masih membawa stigma itu,” tuturnya.

Selain testimoni penyintas, akademisi hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bertentangan dengan prinsip integritas moral yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

“Rezim Soeharto merupakan rezim otoritarian yang mengekang kebebasan berpikir, membungkam perbedaan, dan menyingkirkan kritik dengan kekerasan,” ujarnya.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman, menyatakan pemberian gelar pahlawan nasional seharusnya membuka kembali ingatan kolektif tentang kekejaman rezim Soeharto dan peran militer yang menguat pada masa itu.

Menurut Herlambang, praktik otoritarianisme pada masa Orde Baru melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang sistematik: penyingkiran, penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual, pemiskinan keluarga korban, hingga pengambilalihan rumah ibadah.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved