Rapat Oemoem di Yogyakarta: Menolak Lupa, Menolak Gelar Pahlawan bagi Soeharto
Forum ini menyatakan bahwa kebijakan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
Karena itu, menurutnya, tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat belum terwujud dan sejumlah struktur lama masih berpengaruh dalam politik nasional.
“Kita belum menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Hari ini pun, dunia politik kita masih dikuasai oleh generasi dan jaringan lama yang tumbuh dari sistem kekuasaan negara Orde Baru,” ujarnya.
Herlambang menekankan pentingnya membangun dan mewariskan memori politik kepada generasi muda serta mengasah kepekaan terhadap kejahatan kemanusiaan.
Tanpa upaya berkelanjutan untuk mengembangkan dan menjaga narasi sejarah yang akurat, ia khawatir kesalahan masa lalu akan terulang.
“Ini kerja panjang, yang tidak akan pernah mengenal kata mudah atau sia-sia. Semoga apa yang kita bicarakan hari ini menjadi pengingat, agar bangsa ini tidak terus mengulangi kesalahan yang sama,” tutup Herlambang.
Alasan Penolakan
Dalam kerangka acuan kegiatan, Forum Cik Ditiro menyebut sejumlah alasan penolakan terhadap rencana anugerah gelar pahlawan tersebut.
Antara lain karena Soeharto dianggap tidak memenuhi syarat integritas moral dan keteladanan sebagaimana diatur undang-undang.
Forum juga menilai kebijakan Orde Baru menyebabkan pelanggaran HAM, kontrol terhadap tubuh perempuan, perampasan tanah adat, hingga rusaknya ekosistem pertanian akibat kebijakan intensifikasi dan ketergantungan pada industri pupuk dan pestisida.
Aktivis perempuan Ita Fatia Nadia juga menyampaikan seruan agar gerakan masyarakat kembali berpijak pada basis rakyat, bukan elit kekuasaan.
“Kita harus kembali kepada gerakan rakyat. Saat ini bukan waktunya lagi hanya berbicara di ruang-ruang elitis, tapi mengorganisir ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak muda. Perlawanan harus berangkat dari akar,” ujarnya.
Ita menuturkan pengalamannya melakukan pendidikan politik di berbagai daerah, termasuk saat berkunjung ke Filipina dan Papua.
Di Filipina, ia melihat bagaimana komunitas masyarakat, termasuk anak muda, secara kolektif berdiskusi dan menentukan arah gerakan sosial.
“Kita perlu membangun kesadaran bersama untuk melawan ketidakadilan. Di Papua, saya bertemu ribuan perempuan dan anak-anak yang terusir dari tanah mereka akibat proyek nasional. Ini persoalan kita bersama,” katanya.
Ia menilai kekerasan terhadap rakyat masih terjadi hingga kini dalam berbagai bentuk, dari militerisme hingga represi terhadap kebebasan sipil.
“Kita masih hidup di bawah sistem pemerintahan yang otoriter dan militeristik. Keamanan yang kita miliki bukan keamanan rakyat, tetapi keamanan versi militer,” ujarnya.
| PSIM Yogyakarta Dapat Libur Tiga Hari, Isi Ulang Energi Sebelum Hadapi Bhayangkara FC |
|
|---|
| Laksanakan Arahan BGN, Dinkes Kota Yogyakarta Wajibkan Dapur MBG Lengkapi Syarat SLHS |
|
|---|
| Stunting dan Anemia Jadi Tantangan Kesehatan, Ilmuwan Rumuskan Solusi di UNU Yogyakarta |
|
|---|
| UNU Yogyakarta Kolaborasi dengan Deepublish Tingkatkan Budaya Literasi dan Spiritual Mahasiswa |
|
|---|
| Pengelolaan Sampah di Pasar Ngasem Jadi Sorotan, Ini Kata Wali Kota Yogyakarta |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Rapat-Oemoem-yang-diinisiasi-Forum-Cik-Ditiro.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.