Rapat Oemoem di Yogyakarta: Menolak Lupa, Menolak Gelar Pahlawan bagi Soeharto

Forum ini menyatakan bahwa kebijakan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Rapat Oemoem yang diinisiasi Forum Cik Ditiro di Yogyakarta, Selasa (11/11/2025). 

Dampak tindakan itu, kata dia, masih menghantui keluarga korban dan komunitas di daerah hingga kini.

“Kita tahu, pada masa itu banyak sekali penyusupan tangan-tangan kekuasaan, penyingkiran keluarga, penahanan yang begitu mudah terjadi, serta kekerasan demi kekerasan yang terus berlangsung. Penyusupan dan kekerasan itu membuat keluarga korban tidak akan pernah lupa,” ujar Herlambang.

Baca juga: Fakta-fakta Soeharto Mendapat Gelar Pahlawan Nasional di Hari Pahlawan 2025

Ia mencontohkan sejumlah peristiwa yang menurutnya menjadi bagian dari memori politik yang belum dituntaskan, seperti insiden di Dili, Talangsari, dan Nipah.

Herlambang juga mengungkapkan pengalamannya menelusuri bagaimana politik militer turut berperan dalam penguasaan tanah-tanah di Jawa.

Menurutnya, ada komunitas besar yang tetap kehilangan akses atas tanah mereka, dan sebagian tanah itu hingga kini masih dikuasai militer meski ada pula yang sudah dikembalikan secara terbatas.

Herlambang menyoroti lemahnya dokumentasi negara terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.

Ia mengatakan informasi dan upaya pemulihan korban seringkali hanya berpindah dari instansi ke instansi tanpa penanganan substantif. 

Proses administratif yang berbelit, dari kementerian ke sekretariat negara hingga ke istana, kerap membuat upaya pengakuan dan pemulihan mandek.

“Hal-hal semacam ini sering berhenti di level administratif—dari Kemensos ke Kementerian Kebudayaan, lalu ke Sekretariat Negara, dan akhirnya ke Presiden. Prosesnya berbelit, seperti permainan yang tidak kunjung selesai,” ujarnya.

Sebagai langkah penanggulangan, Herlambang mengusulkan pemanfaatan mekanisme hukum tata usaha negara untuk menuntaskan manipulasi administratif yang menghambat pengakuan korban.

Ia mengatakan kalangan akademisi tengah membahas kemungkinan langkah-langkah hukum tersebut, namun menekankan bahwa gerakan hukum perlu terhubung dengan gerakan publik dan forum-forum sipil.

“Kami di kalangan akademisi sedang membicarakan kemungkinan langkah-langkah itu, meskipun belum bisa diputuskan. Gerakan advokasi semacam ini tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus terhubung dengan gerakan publik seperti forum-forum atau rapat umum seperti yang kita lakukan pagi ini,” katanya.

Herlambang juga mengingat kembali pengalamannya semasa mahasiswa, ketika kebebasan akademik dan ruang diskusi sering dibatasi oleh persyaratan izin hingga pengawasan oleh badan intelijen.

Ia menceritakan bagaimana aktivitas demonstrasi dan diskusi intelektual mudah dibubarkan, bahkan sebelum era reformasi.

Mengenai hasil reformasi 1998, Herlambang bersikap kritis. Ia mengakui pernah berpartisipasi dalam aksi dan mengamati adanya politisasi dalam gerakan mahasiswa; sejumlah aktivis yang semula kritis kini justru masuk ke dalam struktur kekuasaan.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved