Rapat Oemoem di Yogyakarta: Menolak Lupa, Menolak Gelar Pahlawan bagi Soeharto
Forum ini menyatakan bahwa kebijakan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
Dampak tindakan itu, kata dia, masih menghantui keluarga korban dan komunitas di daerah hingga kini.
“Kita tahu, pada masa itu banyak sekali penyusupan tangan-tangan kekuasaan, penyingkiran keluarga, penahanan yang begitu mudah terjadi, serta kekerasan demi kekerasan yang terus berlangsung. Penyusupan dan kekerasan itu membuat keluarga korban tidak akan pernah lupa,” ujar Herlambang.
Baca juga: Fakta-fakta Soeharto Mendapat Gelar Pahlawan Nasional di Hari Pahlawan 2025
Ia mencontohkan sejumlah peristiwa yang menurutnya menjadi bagian dari memori politik yang belum dituntaskan, seperti insiden di Dili, Talangsari, dan Nipah.
Herlambang juga mengungkapkan pengalamannya menelusuri bagaimana politik militer turut berperan dalam penguasaan tanah-tanah di Jawa.
Menurutnya, ada komunitas besar yang tetap kehilangan akses atas tanah mereka, dan sebagian tanah itu hingga kini masih dikuasai militer meski ada pula yang sudah dikembalikan secara terbatas.
Herlambang menyoroti lemahnya dokumentasi negara terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.
Ia mengatakan informasi dan upaya pemulihan korban seringkali hanya berpindah dari instansi ke instansi tanpa penanganan substantif.
Proses administratif yang berbelit, dari kementerian ke sekretariat negara hingga ke istana, kerap membuat upaya pengakuan dan pemulihan mandek.
“Hal-hal semacam ini sering berhenti di level administratif—dari Kemensos ke Kementerian Kebudayaan, lalu ke Sekretariat Negara, dan akhirnya ke Presiden. Prosesnya berbelit, seperti permainan yang tidak kunjung selesai,” ujarnya.
Sebagai langkah penanggulangan, Herlambang mengusulkan pemanfaatan mekanisme hukum tata usaha negara untuk menuntaskan manipulasi administratif yang menghambat pengakuan korban.
Ia mengatakan kalangan akademisi tengah membahas kemungkinan langkah-langkah hukum tersebut, namun menekankan bahwa gerakan hukum perlu terhubung dengan gerakan publik dan forum-forum sipil.
“Kami di kalangan akademisi sedang membicarakan kemungkinan langkah-langkah itu, meskipun belum bisa diputuskan. Gerakan advokasi semacam ini tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus terhubung dengan gerakan publik seperti forum-forum atau rapat umum seperti yang kita lakukan pagi ini,” katanya.
Herlambang juga mengingat kembali pengalamannya semasa mahasiswa, ketika kebebasan akademik dan ruang diskusi sering dibatasi oleh persyaratan izin hingga pengawasan oleh badan intelijen.
Ia menceritakan bagaimana aktivitas demonstrasi dan diskusi intelektual mudah dibubarkan, bahkan sebelum era reformasi.
Mengenai hasil reformasi 1998, Herlambang bersikap kritis. Ia mengakui pernah berpartisipasi dalam aksi dan mengamati adanya politisasi dalam gerakan mahasiswa; sejumlah aktivis yang semula kritis kini justru masuk ke dalam struktur kekuasaan.
| PSIM Yogyakarta Dapat Libur Tiga Hari, Isi Ulang Energi Sebelum Hadapi Bhayangkara FC |
|
|---|
| Laksanakan Arahan BGN, Dinkes Kota Yogyakarta Wajibkan Dapur MBG Lengkapi Syarat SLHS |
|
|---|
| Stunting dan Anemia Jadi Tantangan Kesehatan, Ilmuwan Rumuskan Solusi di UNU Yogyakarta |
|
|---|
| UNU Yogyakarta Kolaborasi dengan Deepublish Tingkatkan Budaya Literasi dan Spiritual Mahasiswa |
|
|---|
| Pengelolaan Sampah di Pasar Ngasem Jadi Sorotan, Ini Kata Wali Kota Yogyakarta |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Rapat-Oemoem-yang-diinisiasi-Forum-Cik-Ditiro.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.