Cerita Adinindyah Membawa Produk Tenun Tradisional LAWE Mendunia
LAWE lahir untuk mempromosikan warisan budaya berupa tenun tradisional sekaligus memberikan ruang kesempatan bagi para penenun perempuan di Indonesia.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Melalui partisipasi aktif itu, LAWE memperluas pasar lokal dan global.
Beberapa negara yang sudah pernah memesan produk LAWE di antaranya Australia, Singapura, Paris, Belgia, dan Jepang.
“Waktu kami pameran di Vietnam pernah ada chain store dari Jepang yang mendekati gitu. Jadi si perusahaan Jepang ini, mereka punya staf-staf purchasing yang mereka turunkan di pameran. Dari empat orang yang mereka turunkan itu, empat-empatnya tuh datang ke stand kami dan semua tertarik gitu, menyatakan mereka mau pesan,” tutur Dyah.
Saat ini, LAWE masih terus mengembangkan pasar internasionalnya.
Dyah mengaku kesulitannya adalah ketika dalam satu waktu mereka memesan produk dalam jumlah banyak sekaligus.
Seringkali mereka harus kembali mengedukasi klien bahwa produk LAWE rata-rata merupakan tenun handmade yang tidak bisa diproduksi secara masif dalam satu waktu.
“Sekarang memang kami lebih cari mana yang mereka perlu produk, nggak langsung banyak tapi bisa rutin. Misalnya sebulan sekali atau beberapa bulan sekali dikirim. Jadi kami nggak yang sekali ekspor satu kontainer atau beberapa kontainer gitu,” ucapnya.
Dyah juga mengatakan, LAWE masih mencoba mencari ceruk pasar lokal agar bisa memaksimalkan pemasaran produk di dalam negeri.
Wadah Berbagi dan Bermanfaat Bagi Sekitar
Dalam perjalanan 21 tahun ini, Dyah berharap LAWE dapat terus membantu banyak penenun meningkatkan kepercayaan diri mereka dan bertransformasi mengembangkan produk tenunnya melalui pelatihan-pelatihan yang telah dilakukan.
“Jadi kita kayak nyebar umpan, nyebar skill. Dari masing-masing mereka nanti kalau ada yang betul-betul mau bergerak, ada yang mau tumbuh, yang tumbuh ini yang kami lihat sebagai keberhasilan,” ujarnya.
LAWE juga menerapkan prinsip keberlanjutan bagi lingkungan.
Meski belum bisa 100 persen zero waste, LAWE mengupayakan untuk tidak membuang sedikitpun bahan sisaan.
“Kami berusaha semua bahan kain yang kami pakai itu kami manfaatkan, bahkan sampai sekecil mungkin. Itulah kenapa kami ada produk-produk yang kecil-kecil banget begini. Kadang-kadang kami juga bikin kelas-kelas ke TK-SD untuk membuat kolase dari perca,” tutur Dyah.
Selain itu, adanya kepedulian terhadap pengaruh pewarna sintetik pada lingkungan mendorong beberapa penenun yang didampingi LAWE untuk menggunakan pewarna alam pada produk mereka.
LAWE berusaha untuk tidak pernah berhenti memberi kebermanfaatan kepada sesama.
Tidak hanya pada orang-orang yang bekerja dan berkolaborasi dengan mereka, tapi juga pada masyarakat sekitar.
“Generosity itu ya basisnya, jadi kita itu membagi nggak nunggu kaya, nggak nunggu sukses dulu. Jadi malah startnya dulu dari apa yang kita bagi, itu akan berbalik ke kita,” ucapnya.
LAWE membuka akses seluas-luasnya kepada siapa saja yang ingin belajar.
Mereka terbuka untuk kelompok manapun, baik penenun, penjahit, kelompok ibu PKK atau kelompok bisnis yang ingin belajar tentang produksi tenun.
Baca juga: Warga Desa Karangasem Bikin Alat Tenun Bukan Mesin Portabel
Cita-cita LAWE adalah menjadi suatu wadah belajar bagi mereka yang ingin berkembang.
Salah satu program yang telah dijalankan untuk mewujudkan itu adalah Sisterhood of LAWE.
“Misalnya ada teman-teman yang mungkin di kampung ada penenun, mereka ingin bikin produk tapi nggak punya sistem produksi, nah itu kami bisa kolaborasi. Jadi mereka bisa kirim kainnya ke sini, terus kita bisa develop bareng. Nanti yang produksi teman-teman yang di Jogja, mereka tinggal pasarin produk yang sudah jadi,” kata Dyah.
Melihat LAWE dalam sepuluh tahun ke depan, Dyah membagikan adanya impian untuk membangun living museum.
Ia ingin mewujudkan tempat bagi para pecinta tenun apabila di masa depan tenun tidak lagi dianggap relevan.
“Jadi disitu masih ada penenun-penenun yang masih bekerja, mereka masih bisa berpenghidupan dari situ. Tapi itu kita kelola gitu. Jadi semacam tempat tujuan juga untuk teman-teman yang mau belajar tentang tenun,” ungkapnya.
Di usianya yang memasuki dua dekade, LAWE tetap berjalan dengan napas yang sama untuk berbagi pengetahuan, memberdayakan perempuan, dan menjaga warisan budaya.
Dari kegelisahan lima perempuan di awal 2000-an, LAWE menjelma sebagai ruang belajar, bertumbuh, dan berbagi bagi para penenun perempuan dari seluruh penjuru Indonesia.
Bagi Dyah, masa depan tenun bukan semata tentang kain.
Melainkan tentang menjaga keberlangsungan hidup dan martabat mereka yang merawatnya.
Selama tenun masih ditenun dengan ketulusan, kisahnya tidak akan pernah usang.
(MG Shafira Puti Krisnintya)
kerajinan tangan
kain tenun
warisan budaya
Pemberdayaan Perempuan
kisah inspiratif
Bisnis
fashion
Fashion Lokal
| Asa Yayasan Sekar Kawung Memuliakan Budaya, Menjaga Alam, Menguatkan Rakyat |
|
|---|
| Cerita Penjual Roti Hangat Keliling Jogja Bawa Tumpukan Kotak Menjulang Tinggi |
|
|---|
| Kisah Sri Ratna Saktimulya Menyusun Manuskrip Kuno Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta |
|
|---|
| Kisah Sukses Bagus, Rintis Usaha Tas Kulit Sejak Masih Jadi Sales, Kini Tembus Pasar Internasional |
|
|---|
| Kedai Gong: Ngopi Rempah dan Hidupnya Ruang Diskusi di Tengah Kota Jogja |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Co-Founder-LAWE-Indonesia.jpg)