Cerita Adinindyah Membawa Produk Tenun Tradisional LAWE Mendunia
LAWE lahir untuk mempromosikan warisan budaya berupa tenun tradisional sekaligus memberikan ruang kesempatan bagi para penenun perempuan di Indonesia.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Ringkasan Berita:
- Berbekal kegelisahan yang muncul ketika menjalankan program di NGO, Adinindyah dan keempat sahabatnya mendirikan LAWE.
- LAWE merupakan lembaga social enterprise yang memberi ruang para penenun perempuan untuk membuat produk berkualitas tinggi berbahan dasar tenun tradisional dari seluruh Indonesia.
TRIBUNJOGJA.COM - Bagi Adinindyah (52) dan keempat sahabat perempuannya, tenun tradisional tidak hanya persoalan kain biasa.
Pengalaman kelima perempuan itu aktif menjadi bagian dari Non-Governmental Organization (NGO) membuat mereka banyak melihat persoalan domestik rumah tangga yang seringkali lebih merugikan perempuan.
Melalui program-program NGO pula, mereka banyak berkunjung ke daerah pedalaman dan bertemu banyak penenun yang mulai kehilangan daya dalam memasarkan tenun mereka.
Dari kegelisahan itulah LAWE lahir sebagai lembaga yang ingin mempromosikan warisan budaya Indonesia sekaligus memberikan kesempatan upskill bagi para perempuan di Indonesia.
Berdiri pada tahun 2004, LAWE merupakan lembaga social enterprise yang menciptakan berbagai produk berkualitas tinggi berbahan dasar tenun tradisional dari seluruh Indonesia.
Baca juga: Asa Yayasan Sekar Kawung Memuliakan Budaya, Menjaga Alam, Menguatkan Rakyat
LAWE terus berusaha menyempurnakan konsep produk tenun yang tak hanya menarik secara visual tetapi juga sarat identitas lokal.
Mereka memilih lurik Jogja sebagai bahan dasar polosan dan dikombinasikan dengan motif dari tenun-tenun daerah Indonesia Timur.
LAWE bergerak menjangkau para penenun di berbagai daerah untuk melakukan pelatihan pengembangan produksi tenun.
Mulai dari pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, hingga ke pulau-pulau kecil seperti Bali dan Nusa Tenggara.
LAWE juga berhasil menyeberang sampai ke Timor-Leste untuk melakukan pelatihan.
Pelatihan yang dilakukan biasanya berdasarkan permintaan dari pihak penenun atau lembaga-lembaga dari daerah.
Perempuan yang akrab disapa Dyah itu mengatakan rata-rata para penenun memiliki keterbatasan kemampuan untuk mengembangkan dan memasarkan produk mereka.
“Kami biasanya, akhirnya bikin dua kelompok. Satu kelompok untuk penenunnya, satu kelompok untuk pengolahnya. Nanti biar masing-masing saling membutuhkan gitu,” ujar Dyah, co-founder LAWE, saat ditemui di galeri LAWE, Krapyak Wetan, Sewon, Bantul, Rabu (19/11/2025).
Dyah mengatakan, hal yang selalu ditekankan saat pelatihan adalah persoalan kebersihan dan konsistensi kualitas produk, seperti konsistensi warna dan ukuran.
“Kadang-kadang misalnya mereka bikin selendang panjang gitu, kerapatannya beda. Ujung sana sama ujung sini kerapatannya beda. Kadang ujung sana lebarnya 20 cm, sebelah sini 25 cm. Jadi nggak konsisten,” katanya.
Tim LAWE yang terjun ke lapangan selalu membagikan pengetahuan atas standar-standar kualitas yang harus dipenuhi untuk kebutuhan produk yang akan disebarluaskan di pasar, baik ke tingkat nasional maupun tingkat internasional.
Awal Berdirinya LAWE
Semua berawal dari kegelisahan Dyah saat masih bekerja di Bogor dan aktif di NGO.
Ia dipercaya untuk terlibat dalam program Non-Timber Forest Product (NTFP) dan berkunjung ke beberapa daerah, termasuk Sumba.
Di sana mereka melakukan pengembangan produk hasil hutan non kayu.
Dyah pun menemukan bahwa tenun termasuk dalam NTFP.
“Selama kita ke daerah gitu, ketemu kelompok-kelompok penenun itu mesti mereka mengeluh. Mereka nggak bisa masarkan, mereka nggak punya (ide) keberlanjutan usahanya itu mau seperti apa,” ucapnya.
Sepulang dari sana, mulai muncul pemikiran untuk membantu kelompok penenun Sumba.
Pada saat itu, para penenun hanya menjualkan produk tenun mereka ketika mereka sedang butuh uang saja.
Seringkali mereka menerapkan prinsip 'asal ada yang beli' dan sembarang menjual produk dengan harga yang terlalu murah.
Dyah lantas membagikan kegelisahan hatinya kepada Ita, seniornya yang juga terlibat dalam program NTFP.
Setelah itu, mereka memutuskan untuk menambah pasukan dan mengajak tiga teman perempuan sesama aktivis sosial dan pecinta tenun yaitu Rina, Ani, dan Mita.
Ketiganya berasal dari tiga daerah yang berbeda yaitu Yogyakarta, Lampung, dan Kalimantan.
Baca juga: Pesona Cantik Kain Tenun Sumba Timur: Memahami Makna Pakaian Adat Perempuan
Selama itu, mereka berkesempatan pergi ke beberapa negara di Asia Tenggara.
Di sana mereka melakukan observasi terhadap produk-produk kerajinan warisan budaya yang telah berhasil menemukan pasarnya dan bernilai jual tinggi.
Mereka menemukan bahwa di Indonesia pada masa itu belum banyak yang memproduksi kerajinan tangan dari tenun.
Biasanya tenun hanya digunakan sebagai bahan dasar desainer untuk membuat baju-baju high class.
“Kita tuh inginnya tenun ini nggak cuma bisa jadi konsumsi grup A plus, maksudnya biar bisa lebih memasyarakat itu gimana caranya. Ya sudah terus kami coba, di awal itu kita bikin dulu craft yang kecil-kecil. Biar orang lebih mudah belinya dan lebih sesuai sama pasarnya,” tutur Dyah.
Produk pertama yang dibuat oleh LAWE berupa stationery dengan sampul berupa kain-kain tenun yang sudah dijahit.
Tenun yang digunakan pada saat masih memanfaatkan kelompok-kelompok penenun yang sudah terkoneksi dengan mereka, seperti kelompok penenun dari Sumba dan Kalimantan.
Produk tersebut kemudian coba ditawarkan ke teman-teman mereka dari NGO.
“Ternyata mereka banyak yang tertarik terus akhirnya mereka pesen. Ada yang dibawa, ada yang meeting di Fiji, mereka pesen. Mereka meeting di negara-negara lain, mereka beli untuk gift, untuk jadi representasi, ‘ini gift dari Indonesia’ gitu. Startnya dari situ,” kata Dyah.
Berangkat dari Pameran dan Festival
Sejak awal, Dyah dan teman-temannya memiliki target untuk LAWE berpartisipasi di INACRAFT.
INACRAFT sendiri merupakan pameran kerajinan tangan terbesar dan terlengkap se-Asia Tenggara.
Mulanya mereka hanya menitipkan produk LAWE ke teman-teman lain yang berpartisipasi di INACRAFT, namun ternyata penjualannya tidak terlalu bagus.
Pada 2007, mereka kembali mencoba peruntungan di INACRAFT.
Setelah mendapat dukungan dana dari Samdhana Institute, LAWE memberangkatkan tim mereka dan berpartisipasi secara langsung di Jakarta.
Untuk pertama kalinya, respon yang diterima sangat positif.
“Sebetulnya yang kami jual ‘kan juga ceritanya. Bagaimana perempuan-perempuan itu, mereka harus betul-betul bisa meluangkan waktu di antara keluarganya, sampai bisa membuat produk seperti ini. Terus keistimewaan tenun tengan, prosesnya lama. Itu ‘kan yang belum terceritakan. Jadi setelah kita datang sendiri, kita bisa cerita, mereka baru paham,” ujar Dyah.
Sejak saat itu, LAWE rutin mendapat undangan untuk berpartisipasi di pameran dan festival, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Melalui partisipasi aktif itu, LAWE memperluas pasar lokal dan global.
Beberapa negara yang sudah pernah memesan produk LAWE di antaranya Australia, Singapura, Paris, Belgia, dan Jepang.
“Waktu kami pameran di Vietnam pernah ada chain store dari Jepang yang mendekati gitu. Jadi si perusahaan Jepang ini, mereka punya staf-staf purchasing yang mereka turunkan di pameran. Dari empat orang yang mereka turunkan itu, empat-empatnya tuh datang ke stand kami dan semua tertarik gitu, menyatakan mereka mau pesan,” tutur Dyah.
Saat ini, LAWE masih terus mengembangkan pasar internasionalnya.
Dyah mengaku kesulitannya adalah ketika dalam satu waktu mereka memesan produk dalam jumlah banyak sekaligus.
Seringkali mereka harus kembali mengedukasi klien bahwa produk LAWE rata-rata merupakan tenun handmade yang tidak bisa diproduksi secara masif dalam satu waktu.
“Sekarang memang kami lebih cari mana yang mereka perlu produk, nggak langsung banyak tapi bisa rutin. Misalnya sebulan sekali atau beberapa bulan sekali dikirim. Jadi kami nggak yang sekali ekspor satu kontainer atau beberapa kontainer gitu,” ucapnya.
Dyah juga mengatakan, LAWE masih mencoba mencari ceruk pasar lokal agar bisa memaksimalkan pemasaran produk di dalam negeri.
Wadah Berbagi dan Bermanfaat Bagi Sekitar
Dalam perjalanan 21 tahun ini, Dyah berharap LAWE dapat terus membantu banyak penenun meningkatkan kepercayaan diri mereka dan bertransformasi mengembangkan produk tenunnya melalui pelatihan-pelatihan yang telah dilakukan.
“Jadi kita kayak nyebar umpan, nyebar skill. Dari masing-masing mereka nanti kalau ada yang betul-betul mau bergerak, ada yang mau tumbuh, yang tumbuh ini yang kami lihat sebagai keberhasilan,” ujarnya.
LAWE juga menerapkan prinsip keberlanjutan bagi lingkungan.
Meski belum bisa 100 persen zero waste, LAWE mengupayakan untuk tidak membuang sedikitpun bahan sisaan.
“Kami berusaha semua bahan kain yang kami pakai itu kami manfaatkan, bahkan sampai sekecil mungkin. Itulah kenapa kami ada produk-produk yang kecil-kecil banget begini. Kadang-kadang kami juga bikin kelas-kelas ke TK-SD untuk membuat kolase dari perca,” tutur Dyah.
Selain itu, adanya kepedulian terhadap pengaruh pewarna sintetik pada lingkungan mendorong beberapa penenun yang didampingi LAWE untuk menggunakan pewarna alam pada produk mereka.
LAWE berusaha untuk tidak pernah berhenti memberi kebermanfaatan kepada sesama.
Tidak hanya pada orang-orang yang bekerja dan berkolaborasi dengan mereka, tapi juga pada masyarakat sekitar.
“Generosity itu ya basisnya, jadi kita itu membagi nggak nunggu kaya, nggak nunggu sukses dulu. Jadi malah startnya dulu dari apa yang kita bagi, itu akan berbalik ke kita,” ucapnya.
LAWE membuka akses seluas-luasnya kepada siapa saja yang ingin belajar.
Mereka terbuka untuk kelompok manapun, baik penenun, penjahit, kelompok ibu PKK atau kelompok bisnis yang ingin belajar tentang produksi tenun.
Baca juga: Warga Desa Karangasem Bikin Alat Tenun Bukan Mesin Portabel
Cita-cita LAWE adalah menjadi suatu wadah belajar bagi mereka yang ingin berkembang.
Salah satu program yang telah dijalankan untuk mewujudkan itu adalah Sisterhood of LAWE.
“Misalnya ada teman-teman yang mungkin di kampung ada penenun, mereka ingin bikin produk tapi nggak punya sistem produksi, nah itu kami bisa kolaborasi. Jadi mereka bisa kirim kainnya ke sini, terus kita bisa develop bareng. Nanti yang produksi teman-teman yang di Jogja, mereka tinggal pasarin produk yang sudah jadi,” kata Dyah.
Melihat LAWE dalam sepuluh tahun ke depan, Dyah membagikan adanya impian untuk membangun living museum.
Ia ingin mewujudkan tempat bagi para pecinta tenun apabila di masa depan tenun tidak lagi dianggap relevan.
“Jadi disitu masih ada penenun-penenun yang masih bekerja, mereka masih bisa berpenghidupan dari situ. Tapi itu kita kelola gitu. Jadi semacam tempat tujuan juga untuk teman-teman yang mau belajar tentang tenun,” ungkapnya.
Di usianya yang memasuki dua dekade, LAWE tetap berjalan dengan napas yang sama untuk berbagi pengetahuan, memberdayakan perempuan, dan menjaga warisan budaya.
Dari kegelisahan lima perempuan di awal 2000-an, LAWE menjelma sebagai ruang belajar, bertumbuh, dan berbagi bagi para penenun perempuan dari seluruh penjuru Indonesia.
Bagi Dyah, masa depan tenun bukan semata tentang kain.
Melainkan tentang menjaga keberlangsungan hidup dan martabat mereka yang merawatnya.
Selama tenun masih ditenun dengan ketulusan, kisahnya tidak akan pernah usang.
(MG Shafira Puti Krisnintya)
kerajinan tangan
kain tenun
warisan budaya
Pemberdayaan Perempuan
kisah inspiratif
Bisnis
fashion
Fashion Lokal
| Asa Yayasan Sekar Kawung Memuliakan Budaya, Menjaga Alam, Menguatkan Rakyat |
|
|---|
| Cerita Penjual Roti Hangat Keliling Jogja Bawa Tumpukan Kotak Menjulang Tinggi |
|
|---|
| Kisah Sri Ratna Saktimulya Menyusun Manuskrip Kuno Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta |
|
|---|
| Kisah Sukses Bagus, Rintis Usaha Tas Kulit Sejak Masih Jadi Sales, Kini Tembus Pasar Internasional |
|
|---|
| Kedai Gong: Ngopi Rempah dan Hidupnya Ruang Diskusi di Tengah Kota Jogja |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Co-Founder-LAWE-Indonesia.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.