Cerita Adinindyah Membawa Produk Tenun Tradisional LAWE Mendunia
LAWE lahir untuk mempromosikan warisan budaya berupa tenun tradisional sekaligus memberikan ruang kesempatan bagi para penenun perempuan di Indonesia.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Mereka menemukan bahwa di Indonesia pada masa itu belum banyak yang memproduksi kerajinan tangan dari tenun.
Biasanya tenun hanya digunakan sebagai bahan dasar desainer untuk membuat baju-baju high class.
“Kita tuh inginnya tenun ini nggak cuma bisa jadi konsumsi grup A plus, maksudnya biar bisa lebih memasyarakat itu gimana caranya. Ya sudah terus kami coba, di awal itu kita bikin dulu craft yang kecil-kecil. Biar orang lebih mudah belinya dan lebih sesuai sama pasarnya,” tutur Dyah.
Produk pertama yang dibuat oleh LAWE berupa stationery dengan sampul berupa kain-kain tenun yang sudah dijahit.
Tenun yang digunakan pada saat masih memanfaatkan kelompok-kelompok penenun yang sudah terkoneksi dengan mereka, seperti kelompok penenun dari Sumba dan Kalimantan.
Produk tersebut kemudian coba ditawarkan ke teman-teman mereka dari NGO.
“Ternyata mereka banyak yang tertarik terus akhirnya mereka pesen. Ada yang dibawa, ada yang meeting di Fiji, mereka pesen. Mereka meeting di negara-negara lain, mereka beli untuk gift, untuk jadi representasi, ‘ini gift dari Indonesia’ gitu. Startnya dari situ,” kata Dyah.
Berangkat dari Pameran dan Festival
Sejak awal, Dyah dan teman-temannya memiliki target untuk LAWE berpartisipasi di INACRAFT.
INACRAFT sendiri merupakan pameran kerajinan tangan terbesar dan terlengkap se-Asia Tenggara.
Mulanya mereka hanya menitipkan produk LAWE ke teman-teman lain yang berpartisipasi di INACRAFT, namun ternyata penjualannya tidak terlalu bagus.
Pada 2007, mereka kembali mencoba peruntungan di INACRAFT.
Setelah mendapat dukungan dana dari Samdhana Institute, LAWE memberangkatkan tim mereka dan berpartisipasi secara langsung di Jakarta.
Untuk pertama kalinya, respon yang diterima sangat positif.
“Sebetulnya yang kami jual ‘kan juga ceritanya. Bagaimana perempuan-perempuan itu, mereka harus betul-betul bisa meluangkan waktu di antara keluarganya, sampai bisa membuat produk seperti ini. Terus keistimewaan tenun tengan, prosesnya lama. Itu ‘kan yang belum terceritakan. Jadi setelah kita datang sendiri, kita bisa cerita, mereka baru paham,” ujar Dyah.
Sejak saat itu, LAWE rutin mendapat undangan untuk berpartisipasi di pameran dan festival, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
kerajinan tangan
kain tenun
warisan budaya
Pemberdayaan Perempuan
kisah inspiratif
Bisnis
fashion
Fashion Lokal
| Asa Yayasan Sekar Kawung Memuliakan Budaya, Menjaga Alam, Menguatkan Rakyat |
|
|---|
| Cerita Penjual Roti Hangat Keliling Jogja Bawa Tumpukan Kotak Menjulang Tinggi |
|
|---|
| Kisah Sri Ratna Saktimulya Menyusun Manuskrip Kuno Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta |
|
|---|
| Kisah Sukses Bagus, Rintis Usaha Tas Kulit Sejak Masih Jadi Sales, Kini Tembus Pasar Internasional |
|
|---|
| Kedai Gong: Ngopi Rempah dan Hidupnya Ruang Diskusi di Tengah Kota Jogja |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Co-Founder-LAWE-Indonesia.jpg)