Tips Kesehatan

Cara Mencegah Berat Badan Naik setelah Lebaran, Ini Tipsnya Menurut Pakar

Menurut Riani Witaningrum, S.Gz., M.Sc., dietisien dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada

|
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Iwan Al Khasni
IST
ILUSTRASI: Perubahan mendadak pada jenis dan jumlah asupan makanan, terutama yang tinggi lemak dan gula, memang bisa memberikan dampak signifikan terhadap sistem metabolisme tubuh. 

Berdasarkan pedoman Isi Piringku dari Kementerian Kesehatan, satu piring idealnya diisi oleh setengah porsi sayur dan buah, dan setengah porsi makanan pokok serta lauk pauk.

Selain itu, pengaturan jadwal makan juga penting untuk mendukung kestabilan gula darah dan pencernaan.

Tiga kali makan utama dan dua hingga tiga kali camilan sehat dalam sehari dianjurkan, dengan pembagian energi yang sesuai.

“Aktivitas fisik juga memegang peranan penting. Olahraga ringan selama 20–30 menit setiap hari dapat membantu meregulasi pergerakan usus, memperbaiki sensitivitas insulin, dan mendukung metabolisme tubuh secara keseluruhan,” pesannya.

Riani menyarankan agar masyarakat menghindari makanan yang terlalu pedas, terlalu asam, dan terlalu banyak dalam satu waktu makan.

Dalam masa transisi ini, jenis karbohidrat sederhana seperti nasi putih dan ketupat sebaiknya dibatasi, dan diganti dengan karbohidrat kompleks seperti nasi merah, gandum, serta sayur-sayuran.

Demikian pula dengan sumber lemak, berupa lemak jenuh seperti santan, margarin, dan minyak kelapa dapat dikurangi, digantikan oleh lemak tidak jenuh seperti minyak zaitun dan alpukat. Ia mengingatkan bahwa porsi lemak jenuh sebaiknya tidak lebih dari 7 persen dari total kalori harian, sedangkan lemak tidak jenuh ganda dan tunggal masing-masing 10 dan 20 persen.

“Kolesterol pun dianjurkan di bawah 200 mg per hari. Selain itu, orang yang memiliki kecenderungan intoleransi laktosa sebaiknya menghindari produk susu dan turunannya, serta minuman berkarbonasi yang bisa memicu peningkatan asam lambung,” ungkap Riani.

Belakangan ini, banyak masyarakat, terutama anak muda, tergoda untuk melakukan detoks atau diet ekstrem setelah Lebaran.

Namun, Riani mengingatkan bahwa pola diet ekstrem memiliki risiko besar jika dilakukan tanpa pengawasan medis.

Diet rendah karbohidrat, rendah lemak, atau sangat rendah kalori bisa menimbulkan efek samping mulai dari hilangnya massa tulang, peningkatan asam urat, hingga defisiensi zat gizi mikro.

Bahkan, dalam jangka panjang, bisa meningkatkan risiko penyakit jantung dan kanker karena meningkatkan proses inflamasi dalam tubuh.

Ia menegaskan bahwa tiga jenis diet ekstrem tersebut tidak dianjurkan dilakukan oleh individu sehat tanpa indikasi medis tertentu. Suplementasi vitamin pun, meskipun sering dianggap solusi praktis, dapat menimbulkan gangguan pencernaan jika digunakan dalam jangka panjang.

Daripada mengikuti tren diet ekstrem, Riani lebih menganjurkan gaya hidup sehat yang konsisten dan berbasis pada bukti ilmiah.

“Mencegah lebih baik daripada mengobati, dan menjaga kesehatan jauh lebih murah daripada mengobati penyakit yang muncul kemudian,” ujarnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved