Mengapa Banyak Oknum Ormas 'Memalak' THR? Ini Pendapat Sosiolog UGM
Fenomena ini bukan sekadar tindakan ilegal, tetapi juga mencerminkan persoalan sosial yang lebih dalam.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Menjelang Idulfitri, praktik 'pemalakan' Tunjangan Hari Raya (THR) oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) kembali marak dan meresahkan masyarakat.
Dengan berbagai dalih, seperti sumbangan sukarela atau tradisi tahunan, sejumlah pihak memanfaatkan momentum hari raya untuk meminta THR secara paksa, baik kepada pelaku usaha maupun warga biasa.
Fenomena ini bukan sekadar tindakan ilegal, tetapi juga mencerminkan persoalan sosial yang lebih dalam.
Menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. A.B Widyanta, S.Sos., M.A., praktik ini merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari perspektif sosial maupun hukum.
Meskipun banyak organisasi masyarakat (ormas) yang bergerak di bidang sosial, kenyataannya sebagian kelompok menggunakan dalih ormas untuk melakukan pemalakan terhadap pengusaha.
“Ini bagian dari praktik pemerasan, baik yang dilakukan secara halus melalui berbagai bentuk tekanan sosial dan permintaan yang tampak bersifat sukarela, maupun secara terang-terangan dengan ancaman langsung yang dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan para pengusaha dalam menjalankan bisnis mereka,” ujarnya, Kamis (27/3/2025).
Ia menegaskan bahwa setiap perusahaan sudah memiliki mekanisme dan aturan tersendiri terkait tanggung jawab sosial mereka, sehingga tuntutan dari ormas tidak memiliki dasar yang sah.
Widyanta menjelaskan bahwa fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial dan ekonomi.
Banyak anggota ormas berasal dari kelompok masyarakat yang pekerjaannya tidak tetap atau bersifat kasual.
Baca juga: Sikap Polri Soal Maraknya Aksi Premanisme Berkedok Ormas
Kondisi ekonomi yang sulit memaksa mereka mencari cara untuk mendapatkan pemasukan, termasuk dengan cara yang tidak benar.
Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah, menurut Widyanta, turut memperburuk keadaan.
“Ketika anggaran daerah dipotong, sumber pemasukan banyak yang menghilang. Ini berdampak besar bagi masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya masih mendapat limpahan dana dari proyek-proyek pembangunan,” jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Widyanta menyoroti kesenjangan sosial yang semakin melebar sebagai faktor pendorong maraknya aksi pemalakan oleh ormas.
Ia menilai bahwa kelompok elit oligarki dengan mudahnya memamerkan gaya hidup mewah mereka di berbagai platform media sosial dan ruang publik, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya.
Sosiolog UGM: Bendera One Piece Sebagai Gambaran Krisis di Indonesia |
![]() |
---|
Lantik Pengurus Baru, SC 234 Siap Jadi Agen Perubahan Jaga Nilai-nilai Kebudayaan |
![]() |
---|
Disnakertrans DIY Masih Pantau 7 Perusahaan yang Belum Selesaikan THR bagi Pekerja |
![]() |
---|
18 Perusahaan di Kota Yogyakarta Tersandung Masalah THR, dari Jasa Penagihan hingga Perhotelan |
![]() |
---|
Disnakertrans Bantul Terima 19 Aduan Terkait THR Idulfitri 2025, Sebagian Sudah Ditangani |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.