Mengapa Banyak Oknum Ormas 'Memalak' THR? Ini Pendapat Sosiolog UGM

Fenomena ini bukan sekadar tindakan ilegal, tetapi juga mencerminkan persoalan sosial yang lebih dalam. 

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Tangkapan layar Instagram @infobekasi
VIRAL MEDSOS : Seorang preman bernama Suhada geram lantaran diberi Rp 20.000 ketika meminta tunjungan hari raya (THR) Lebaran ke pabrik plastik di Jalan Tali Kolot, Cikiwul, Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Senin (17/3/2025), sekitar pukul 11.00 WIB. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Menjelang Idulfitri, praktik 'pemalakan' Tunjangan Hari Raya (THR) oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) kembali marak dan meresahkan masyarakat. 

Dengan berbagai dalih, seperti sumbangan sukarela atau tradisi tahunan, sejumlah pihak memanfaatkan momentum hari raya untuk meminta THR secara paksa, baik kepada pelaku usaha maupun warga biasa. 

Fenomena ini bukan sekadar tindakan ilegal, tetapi juga mencerminkan persoalan sosial yang lebih dalam. 

Menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. A.B Widyanta, S.Sos., M.A., praktik ini merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari perspektif sosial maupun hukum. 

Meskipun banyak organisasi masyarakat (ormas) yang bergerak di bidang sosial, kenyataannya sebagian kelompok menggunakan dalih ormas untuk melakukan pemalakan terhadap pengusaha.

“Ini bagian dari praktik pemerasan, baik yang dilakukan secara halus melalui berbagai bentuk tekanan sosial dan permintaan yang tampak bersifat sukarela, maupun secara terang-terangan dengan ancaman langsung yang dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan para pengusaha dalam menjalankan bisnis mereka,” ujarnya, Kamis (27/3/2025).

Ia menegaskan bahwa setiap perusahaan sudah memiliki mekanisme dan aturan tersendiri terkait tanggung jawab sosial mereka, sehingga tuntutan dari ormas tidak memiliki dasar yang sah.

Widyanta menjelaskan bahwa fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial dan ekonomi. 

Banyak anggota ormas berasal dari kelompok masyarakat yang pekerjaannya tidak tetap atau bersifat kasual. 

Baca juga: Sikap Polri Soal Maraknya Aksi Premanisme Berkedok Ormas

Kondisi ekonomi yang sulit memaksa mereka mencari cara untuk mendapatkan pemasukan, termasuk dengan cara yang tidak benar.

Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah, menurut Widyanta, turut memperburuk keadaan.

“Ketika anggaran daerah dipotong, sumber pemasukan banyak yang menghilang. Ini berdampak besar bagi masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya masih mendapat limpahan dana dari proyek-proyek pembangunan,” jelasnya.

Dalam konteks yang lebih luas, Widyanta menyoroti kesenjangan sosial yang semakin melebar sebagai faktor pendorong maraknya aksi pemalakan oleh ormas. 

Ia menilai bahwa kelompok elit oligarki dengan mudahnya memamerkan gaya hidup mewah mereka di berbagai platform media sosial dan ruang publik, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved