Alumni UGM Yogyakarta Lakukan Perjalanan ke Benua Terdingin di Kutub Selatan Bumi

ekspedisi ke Antartika mengantarkan Gerry menjadi orang Indonesia dan ASEAN pertama yang mengikuti program RAE yang sudah berjalan sebanyak 69 kali.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Iwan Al Khasni
Istimewa
Gerry Utama, alumni Fakultas Geografi UGM di Antartika selama Februari - Juli 2024 

Ia baru dihubungi kembali pada 2015 saat ia telah menyelesaikan program doktor dan dengan segera Nugroho mengikuti tahap seleksi berupa wawancara dan pemeriksaan kesehatan.

Dia kemudian bergabung bersama lima orang peneliti Jepang dan dua orang lainnya dari Mongolia dan Thailand.

Menjadi peneliti di Antartika berarti harus mempersiapkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. 

Hal ini juga harus dilewati oleh Nugroho.

Selama sebulan, ia harus mengikuti pelatihan insentif seperti cara penggunaan peralatan di salju, tata cara berpakaian, pelatihan bertahan hidup di kondisi darurat, pendirian tenda, cara memasak dan buang air.

Kondisi Antartika dapat dibilang jauh berbeda daripada kondisi belahan dunia manapun. 

Nugroho mengenang Antartika seperti bukan bagian dari bumi sebab kondisinya yang putih bersih sejauh mata memandang.

“Saya saat itu bergabung dengan delapan orang dalam tim geologi. Saat itu, Antartika sedang musim panas sehingga matahari bersinar 24 jam setiap harinya, sedangkan suhu udaranya berkisar -5 derajat di malam hari dan -2 derajat di siang hari,” kenang Nugroho. 

Selain itu, kekosongan suara membuat suasana menjadi hening. 

Ia mengingat saat itu hanya ada suara ia dan timnya serta bunyi-bunyian es yang mulai mencair sebab perubahan iklim, sesekali bertemu dengan penguin dan anjing laut Weddell.

Keseluruhan tim JARE 58 saat itu terdiri atas 80 anggota dan 35 orang diantaranya merupakan peneliti. 

Penelitian saat itu dibagi dalam sepuluh topik, antara lain meteorologi, atmosfer, biologi terestrial, oseanografi, geofisika, geodesi, dan geologi.

Proses penelitian sendiri berlangsung selama empat bulan pada 27 November 2016 hingga 22 Maret 2017. 

 Akan tetapi, menurutnya, waktu penelitian hanya dapat berjalan efektif selama 30 hari.

Hal ini sebab cuaca di lokasi penelitian sangat ekstrim dan sering terjadi badai angin sehingga tidak jarang tim peneliti harus menunggu cuacanya membaik.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved