Mengapa Golput di Pilkada 2024 Tinggi? Ini Jawaban Pakar Hukum Tata Negara UGM
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyoroti beberapa faktor yang bisa memengaruhi tingginya angka golput
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Fenomena golongan putih (golput) atau tidak memilih dalam pemilihan umum (pemilu) menjadi topik hangat dalam diskusi politik, terlebih ketika tingkat partisipasi masyarakat menurun signifikan.
Diketahui, angka golput di Pilkada Jakarta 2024 mencapai persentase tertinggi, yakni 3.489.614 orang atau 42,48 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Lantas, mengapa golput di Pilkada 2024 tinggi?
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyoroti beberapa faktor yang bisa memengaruhi tingginya angka golput, mulai dari kandidat yang dianggap tidak menarik hingga pengaruh besar pemilihan presiden (Pilpres) terhadap pemilihan kepala daerah (Pilkada).
"Salah satu faktornya mungkin calonnya tidak menarik. Yang kedua, pengaruh dari Pilpres, kalau masyarakat merasa dikadalin, juga bisa jadi berkontribusi," ujarnya.
Ia juga menyoroti kendala teknis yang sering diabaikan, seperti pelaksanaan Pilkada pada hari kerja.
"Kalau instansi negeri libur, tapi kan perusahaan swasta belum tentu. Ini jadi akumulasi faktor yang bikin orang enggan memilih," tambahnya.
Baca juga: Zainal Arifin Mochtar: Perlu Reformulasi Sistem Pemilu, Cegah Kuasa Presiden yang Terlalu Besar
Namun, ia menegaskan bahwa dugaan-dugaan tersebut membutuhkan riset mendalam untuk mendapatkan jawaban pasti.
"Harus ada riset untuk menjelaskan itu. Saya tidak tahu pasti, tapi ini jadi pertanyaan yang perlu dijawab,” katanya.
Lebih jauh, Zainal mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kualitas demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, jika tren golput tinggi terus berlanjut, demokrasi di Indonesia hanya akan stagnan di tingkat prosedural.
"Demokrasi kita indeksnya 6, tapi itu hanya prosedural. Yang substansialnya belum ada," ungkapnya.
Menurutnya, demokrasi sejatinya harus memberikan ruang bagi partisipasi dan keterwakilan masyarakat secara nyata, bukan sekadar formalitas pemilu lima tahunan.
"Kalau ini terus terjadi, demokrasi kita mandek, tidak naik kelas," ujarnya lagi.
Menurutnya, fenomena ini menjadi alarm bagi para pemangku kebijakan untuk mengevaluasi sistem pemilu sekaligus membangun kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Tanpa itu, demokrasi berpotensi kehilangan maknanya sebagai alat perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. (*)
Keracunan MBG Marak, Pakar UGM: Ada Kegagalan Sistemik dari Penyiapan hingga Distribusi |
![]() |
---|
Pakar UGM: Soal Royalti, Perlu Transparansi Pengelolaan Dananya |
![]() |
---|
Bagaimana Penyelesaian Ambalat yang Ideal? Begini Kata Pakar UGM |
![]() |
---|
Di Balik Keputusan Presiden Prabowo Beri Amnesti untuk Hasto dan Abolisi untuk Tom Lembong |
![]() |
---|
Pemblokiran Rekening Nganggur oleh PPATK, Pakar UGM: Kebijakan yang Kurang Profesional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.