Kasus Mutilasi di Sleman

Sosiolog Sebut Kasus Mutilasi di Sleman Diduga karena Tekanan Sosial Pasca Pandemi

“Dia memiliki keterpaksaan melakukan pembunuhan, kalut dan pada akhirnya berusaha meninggalkan jejak,” ujarnya kepada Tribun Jogja, Kamis (23/3/2023).

|
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
IST
Pelaku pembunuhan AI yang disertai mutilasi sudah ditangkap tim opsnal gabungan dari Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Polresta Sleman. 

Sosiolog Pemerhati Kriminalitas, Dr. Drs. Soeprapto, S.U menambahkan, dalam kondisi terjepit, memang ada orang yang bisa kehilangan daya pikir rasional.

“Bagi orang tertentu yang tidak memiliki kemampuan kendali yang baik dalam menghadapi masalah, mereka sering kehilangan daya pikir yang rasional itu,” terang dia.

Menurutnya, dalam kondisi terjepit desakan debt collector, bagi orang-orang tertentu yang tidak memiliki kemampuan kendali dalam menghadapi masalah, mereka acapkali kehilangan cara berpikir dengan logika.

Padahal, mungkin jika pelaku terus terang, kepada korban, bisa saja korban membantu mencarikan solusi.

Soeprapto membeberkan, apa yang dilakukan oleh pelaku kasus mutilasi di Sleman itu memang untuk mempersulit pencarian pihak kepolisian.

Ia melakukan mutilasi agar polisi sulit mengenali siapa korban dan pembunuhnya.

“Saya kira, ini pembunuhan spontan ya, tidak matang dan tidak teliti. Pelaku tidak memperhitungkan keberadaan CCTV, tidak mengamankan alat yang digunakan untuk membunuh dll. Tujuannya jadi tidak tercapai,” jelas dosen purnatugas dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Soeprapto mengatakan, di balik kebutuhan manusia akan ekonomi, sosial, psikologis, dan biologis, terdapat beberapa anggota masyarakat yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah sehingga melakukan tindakan kriminal untuk memenuhi itu.

“Sehingga ketika menghadapi tekanan hidup, dia tidak mampu mengendalikan diri atau mencari solusi bersama. Akhirnya mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan kriminal,” ujarnya.

Ditanya mengenai kehadiran pemerintah terhadap kasus ini, Soeprapto menjawab, perlu ada penentuan apakah orang tua dari korban termasuk golongan miskin atau tidak.

"Memang ada pasal dalam Undang-undang bahwa fakir miskin dan terlantar menjadi tanggungan negara. Persoalannya, orang tua dari korban itu masuk dalam golongan miskin atau tidak. Itu ada di Pasal 34 UUD 1945," tukasnya. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved