Kasus Mutilasi di Sleman

Sosiolog Sebut Kasus Mutilasi di Sleman Diduga karena Tekanan Sosial Pasca Pandemi

“Dia memiliki keterpaksaan melakukan pembunuhan, kalut dan pada akhirnya berusaha meninggalkan jejak,” ujarnya kepada Tribun Jogja, Kamis (23/3/2023).

|
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
IST
Pelaku pembunuhan AI yang disertai mutilasi sudah ditangkap tim opsnal gabungan dari Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Polresta Sleman. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pelaku mutilasi yang menewaskan satu perempuan di Sleman ternyata memiliki motif untuk menguasai harta korban.

Hal itu terungkap dalam rilis kasus mutilasi yang disampaikan Polda DIY, Rabu (22/3/2023).

Pakar Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dr. Grendi Hendrastomo, S.Sos., M.M., M.A. kepada Tribun Jogja mengatakan, apa yang dilakukan pelaku adalah bukti bahwa dirinya kalut.

“Dia memiliki keterpaksaan melakukan pembunuhan, kalut dan pada akhirnya berusaha meninggalkan jejak,” ujarnya kepada Tribun Jogja, Kamis (23/3/2023).

Baca juga: Kepala Kemenag Kulon Progo: Jadikan Momentum Ramadan Untuk Perbaikan Diri

Kekalutan itu kemudian memaksa pelaku untuk menghilangkan jejak setelah membunuh.

“Apapun caranya, dia lakukan. Misalnya, dengan memutilasi, karena itu adalah hal yang paling mungkin, meski tidak sempurna,” beber dia.

Ketidaksempurnaan itu terlihat dari pelaku yang melakukan mutilasi namun tidak menyebarkan bagian tubuh korban.

Ia justru meninggalkan begitu saja bagian tubuh itu di kamar mandi dan kabur hingga ke Temanggung, Jawa Tengah.

Lantas, mengapa pelaku bisa membunuh korban, padahal dia juga baru kenal sebentar?

Grendi menduga tekanan sosial, dalam konteks selepas pandemi Covid-19 ini semakin berat.

Hingga kini, masih banyak orang yang kesulitan mencari pekerjaan dan memilih untuk meminjam uang di pinjaman online (pinjol).

“Konsep pinjol itu kan gali lubang tutup lubang. Pelaku ini jadi tertekan. Apalagi, kalau dia berhutang di pinjol, maka semua orang jadi tahu kalau dia tidak bayar karena debt collector meneror kesana kemari,” terangnya.

Dari kekalutan itu, kata Grendi, muncul ide untuk merampok demi mendapatkan harta dari korban.

Meski demikian, Grendi masih cukup sangsi dengan motif si pelaku yang berdalih ingin menguasai harta korban.

“Sebenarnya saya agak khawatir, apa iya sesimpel itu alasannya untuk menguasai harta benda. Apa ada sesuatu yang lain dibalik itu?,” tanyanya.

Ia menjelaskan, biasanya pelaku melakukan kejahatan karena merasa harga dirinya dicederai oleh korban.

Kemudian, terkait motif menguasai harta benda, bisa saja itu turunan dari alasan utama, yakni harga diri yang merasa dicederai.

Grendi menambahkan, secara kultural, hubungan antara laki-laki dan perempuan akan mudah menimbulkan relasi intimasi.

Ini diartikan mereka berkenalan karena ada faktor ketertarikan lebih dahulu.

“Korban adalah ibu tunggal, dimana ketika dia menjadi ibu tunggal atau yang biasa disebut sebagai janda, dia akan mendapatkan stigma negatif. Untuk membangun relasi intimasi itu sulit dilakukan,” terangnya.

Maka, Grendi juga tidak menafikkan, mengapa korban mau bertemu dengan pelaku di wisma di Kaliurang.

“Nah, si pelaku ini juga kenapa memilih korban, karena ada relasi kuasa di sini. Perempuan sering dianggap lemah, secara kultural, meski tidak semuanya begitu. Kalau pelaku mau menguasai harta korban laki-laki misalnya, kemungkinan bakal dilawan balik,” terangnya.

Dia menilai, pelaku sebenarnya tidak terlalu merencanakan pembunuhan kepada korban, sebab masih banyak hal-hal yang membuat dia mudah dicari oleh pihak kepolisian.

Ditambahkannya, pemerintah juga harus hadir untuk melindungi dua anak korban mutilasi di Sleman itu.

Mereka berdua masih di bawah umur dan mungkin akan diasuh keluarga besar ibu.

“Pendampingan juga tidak terbatas pada anak, tapi juga keluarga kakek dan nenek karena ada pola pengasuhan yang berbeda untuk anak yang memiliki trauma seperti itu,” papar dia.

Ia berharap, media juga tidak perlu mengulik lebih lanjut tentang keluarga korban karena akan mencederai harga diri mereka.

Hal ini perlu diperhatikan lantaran kedua anak korban juga masih berada di usia tumbuh kembang.

“Anaknya nanti malah kena dampak dari ibunya. Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang dilakukan korban. Bisa jadi, dia bekerja di pekerjaan yang tidak sesuai norma sosial dan banyak masyarakat tutup mata soal ini. Namanya urusan perut, manusia pasti akan melakukan segalanya,” tukas Grendi.

Sosiolog Pemerhati Kriminalitas, Dr. Drs. Soeprapto, S.U menambahkan, dalam kondisi terjepit, memang ada orang yang bisa kehilangan daya pikir rasional.

“Bagi orang tertentu yang tidak memiliki kemampuan kendali yang baik dalam menghadapi masalah, mereka sering kehilangan daya pikir yang rasional itu,” terang dia.

Menurutnya, dalam kondisi terjepit desakan debt collector, bagi orang-orang tertentu yang tidak memiliki kemampuan kendali dalam menghadapi masalah, mereka acapkali kehilangan cara berpikir dengan logika.

Padahal, mungkin jika pelaku terus terang, kepada korban, bisa saja korban membantu mencarikan solusi.

Soeprapto membeberkan, apa yang dilakukan oleh pelaku kasus mutilasi di Sleman itu memang untuk mempersulit pencarian pihak kepolisian.

Ia melakukan mutilasi agar polisi sulit mengenali siapa korban dan pembunuhnya.

“Saya kira, ini pembunuhan spontan ya, tidak matang dan tidak teliti. Pelaku tidak memperhitungkan keberadaan CCTV, tidak mengamankan alat yang digunakan untuk membunuh dll. Tujuannya jadi tidak tercapai,” jelas dosen purnatugas dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Soeprapto mengatakan, di balik kebutuhan manusia akan ekonomi, sosial, psikologis, dan biologis, terdapat beberapa anggota masyarakat yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah sehingga melakukan tindakan kriminal untuk memenuhi itu.

“Sehingga ketika menghadapi tekanan hidup, dia tidak mampu mengendalikan diri atau mencari solusi bersama. Akhirnya mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan kriminal,” ujarnya.

Ditanya mengenai kehadiran pemerintah terhadap kasus ini, Soeprapto menjawab, perlu ada penentuan apakah orang tua dari korban termasuk golongan miskin atau tidak.

"Memang ada pasal dalam Undang-undang bahwa fakir miskin dan terlantar menjadi tanggungan negara. Persoalannya, orang tua dari korban itu masuk dalam golongan miskin atau tidak. Itu ada di Pasal 34 UUD 1945," tukasnya. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved