Pemilu Sistem Proporsional Tertutup Lebih Menguntungkan atau Merugikan, Begini Komentar Sekjen PDIP

Setahun jelang pemilihan umum (Pemilu), suhu politik di Tanah Air mulai menghangat.

Penulis: Hari Susmayanti | Editor: Hari Susmayanti
Kompas.com
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto 

Hal itu, menurutnya terjadi karena kader yang memiliki kemampuan khusus atau merupakan seorang ahli di bidang tertentu tak mampu memenuhi biaya politik pemilihan legislatif (pileg) yang tinggi. 

“Bahkan, ada yang habis sampai Rp 100 miliar untuk menjadi anggota dewan, miliar untuk menjadi anggota dewan,” kata Hasto ditemui wartawan di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2023). 

Hasto mengungkapkan, situasi itu juga menjadi alasan PDI-P mendukung pileg dengan proporsional tertutup. 

Artinya konstituen hanya mencoblos gambar parpol, bukan nama-nama caleg. 

Namun, ia menegaskan bahwa keputusan itu berada di tangan Mahkamah Konstitusi saat ini. 

“Masalah nanti apapun yang diputuskan Mahkamah Konstitusi kami sekali lagi PDI P bukan pihak yang punya legal standing melakukan judicial review,” ujarnya. 

Operasi politik-hukum paling mudah 

Sementara Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai upaya mengubah sistem pemilu terbuka melalui MK adalah upaya mengambilalih kontrol kekuasaan nasional yang paling mudah. 

Langkah itu merupakan upaya untuk membatasi kekuasaan hanya untuk segelintir pihak saja.

Sebab, saat ini lebih banyak parpol yang dirugikan jika pemilu berlangsung dengan sistem proporsional tertutup. 

“Jika putusan MK bisa dibajak oleh selera kekuasaan, lalu putusan MK keluar pada Februari 2023 misalnya, maka hal itu akan mengacaukan semua tahapan, persiapan, dan strategi internal partai-partai politik menuju Pemilu 2024,” kata Umam.

Tak hanya itu, dalam pandangan Umam, proporsional tertutup kontraproduktif dengan semangat reformasi dan situasi demokrasi di Indonesia.

Sebab, esensinya sistem proporsional terbuka diberlakukan agar masyarakat bisa memilih sendiri figur yang memperjuangkan aspirasinya. 

Dengan sistem proporsional tertutup, konstituen tak bisa mengetahui siapa wakilnya di Parlemen. 

 “Di sisi lain, jika praktik money politics menjadi concern utama pengembalian sistem proporsional tertutup, maka sistem itu justru akan mengokohkan kooptasi oligarki dan hegemoni politik,” ujar Umam. (*)

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved