Pondok Tetirah Dzikir Bina Ratusan Pecandu Napza dan Orang Gangguan Jiwa

Saat ini ada 100 penyandang gangguan jiwa dan mantan pecandu napza yang menjalani rehabilitasi di Pondok Tetirah Dzikir.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Maruti Asmaul Husna Subagio
Muhammad Tri Hardono mengimami salat zuhur para santri di Pondok Tetirah Dzikir. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti A Husna

TRIBUNJOGJA.COM - Muhammad Tri Hardono memiliki empati yang cukup unik.

Sejak 2003 ia aktif melakukan pembinaan kepada orang-orang yang menyandang gangguan jiwa dan pecandu napza.

Kini, di Pondok Tetirah Dzikir, Tegaltirto, Berbah, Sleman ia hidup bersama 100 orang dari kalangan tersebut yang disebut santri.

Azan zuhur di Pondok Tetirah Dzikir siang itu (11/03/2020) baru saja berkumandang.

Muhammad Tri Hardono, kiai sekaligus pimpinan pondok rehabilitasi tersebut, bergegas menuju masjid.

Di belakangnya beberapa santri berkepala plontos dan berseragam hijau mengikuti sang pemimpin.

 

9 Alasan Pesantren Layak Disebut Sebagai Laboratorium Perdamaian

“Mayor Sersan Prabowo, Kiai Haji Muhammad Bisri, Kiai Haji Syaifullah… Itu siapa? Tomes? Ayo salat dulu,” ujar Tri memanggil santri-santrinya yang belum masuk ke barisan salat.

“Yang itu kenapa?” tanya Tri kepada seorang santri kemudian.

“Luka pak,” jawab santri itu.

“Oh nggak apa-apa. Ayo salat dulu,” bujuk Tri menggunakan pengeras suara di pojok imam salat.

Tri memastikan kembali santri-santrinya telah berkumpul semua.

Tak berapa lama kemudian, salat zuhur pun didirikan.

Uniknya, meski ruang utama masjid belum penuh, beberapa santri tampak memilih salat di teras masjid.

Demikianlah suasana menjelang salat berjamaah di Pondok Tetirah Dzikir.

Kepada Tribunjogja.com, Tri Hardono menyampaikan ia memang biasa mengajak para santri untuk salat dengan cara yang lembut.

“Mayor Sersan Prabowo itu mantan tentara, tapi depresi. Itu memang nama aslinya,” jelas Tri.

Saat Tribunjogja.com menanyakan tentang dua kiai yang ikut dipanggil sebelum salat, Tri menjawab, “Ya, kiai juga bisa depresi loh. Kalau Kiai Syaifullah itu sekarang sudah bisa terkontrol,” tukasnya.

Cara Membuat Masker Kain Sederhana yang Bisa Dilakukan di Rumah

Saat ini, ada 100 penyandang gangguan jiwa dan mantan pecandu napza yang menjalani rehabilitasi di Pondok Tetirah Dzikir.

Sementara, sejak 2003 Tri aktif melakukan pembinaan kepada dua kalangan masyarakat tersebut, total sudah 250 orang yang terbina.

Sebagian dari mereka sudah pulih dan kembali ke masyarakat untuk melanjutkan kehidupannya.

Bahkan, tidak sedikit yang menikah dan membangun rumah tangga.

“Tapi, banyak juga yang setelah pulih memilih mengabdi di sini. Mereka menjadi relawan untuk melayani teman-temannya, semisal memandikan para santri hingga membersihkan lingkungan pondok,” jelas Tri.

Tri menjelaskan ada 10 relawan yang kini membantu dirinya melayani para santri.

Namun, jumlah itu menurut Tri masih sangat kurang.

“Hanya satu banding sepuluh. Apalagi kami menangani orang-orang yang bermasalah dalam tanda kutip. Mereka (para relawan) juga bukan tenaga profesional,” tutur Tri.

Titik balik hidup Muhammad Tri Hardono terjadi setelah dirinya lulus dari perguruan tinggi.

Alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM angkatan 1988 itu pernah mengalami depresi selama dua tahun.

“Usia 27-29 itu titik terendahnya. Saya mengalami kegagalan bertubi-tubi untuk memasuki dunia kerja. Sementara, pola pikir di masyarakat kan kalau sudah sekolah SD sampai SMA, lalu lanjut ke perguruan tinggi, seharusnya langsung kerja. Sering mengalami paranoid hingga halusinasi. Sampai pilihannya bunuh diri atau hidup gila,” kata Tri.

Namun, suatu ketika secercah harapan datang kepada Tri.

Setelah mengalami keterpurukan, dia mulai sadar bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan bisa menjadi solusi.

Tri kemudian nyantri kepada kiai-kiai di Jawa Tengah.

Setelah merasa cukup tenang dia keluar dari pesantren.

“Tapi waktu itu, kiai-kiai itu hanya menenteramkan saya ketika di pesantren saja. Keluar dari sana muncul guncangan-guncangan lagi,” papar Tri.

Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Terima Santri dari Berbagai Kalangan

Setelah itu, Tri memutuskan untuk kembali ke pesantren.

Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, Jawa Barat kini menjadi pilihannya.

Tri belajar selama tiga bulan di sana.

“Di situlah saya memeroleh pegangan hidup. Kita dapat ilmu untuk menghidupkan zikir. Saya pernah merasakan bagaimana proses hilang diri. Pengalaman ini sangat penting, solusi dari ini adalah ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah,” tuturnya.

Selesai belajar di Pesantren Suryalaya, Tri kembali ke DIY pada 1999.

Setelah beberapa tahun menenangkan diri, pada 2003 ada seseorang yang mengalami gangguan jiwa datang kepadanya.

“Dia guncangannya parah. Sudah tingkatan lari-lari telanjang, sudah mau bunuh diri. Saya tahu dia perlu orang yang mendampingi. Solusi utamanya kita ajak berzikir kepada Allah. Setelah 40 hari dia mulai menemukan dirinya kembali,” jelas Tri.

Setelah satu orang tersebut berangsur pulih, mulai banyak keluarga-keluarga lain menitipkan anggota keluarganya yang bermasalah kepada Tri.

Hingga pada 2010 binaannya berjumlah 25 orang.

Dia berkali-kali menemukan kesulitan untuk menampung orang-orang tersebut.

“Ada anak-anak yang teriak-teriak, ada yang melempar batu ke rumah tetangga. Saya sudah berpikir kami tidak bisa tinggal di dekat kampung padat penduduk,” jelas Tri.

Pondok Pesantren Islam Al Iman Muntilan, Berdiri di Atas dan untuk Semua Golongan

Beberapa kali pindah tempat, hingga pernah menjadi pengungsi istimewa saat erupsi Merapi 2010, Tri dan para santrinya akhirnya menempati bangunan di Dusun Kuton, Tegaltirto, Berbah, Sleman sejak 2014.

Bangunan pondok pesantren itu berjarak dari pemukiman warga.

Untuk mencapainya harus melewati jalanan tanah setapak, sehingga cukup sulit saat hujan.

Pondok terletak di dekat sungai dan dikelilingi persawahan.

Suasana hijau dan asri menyegarkan.

Ada pula kolam ikan dan domba yang dipelihara pesantren.

Tri selama ini membuang jauh-jauh stigma bahwa orang yang dibinanya adalah pasien.

Mereka dianggap sebagai sesama manusia, sesama hamba Allah.

Pendekatan yang dilakukannnya adalah pendekatan spiritual dengan toriqoh qodriyah wa na’syabandiyah, ilmu yang dia dapat dari Pesantren Suryalaya.

“Di sini kami ajak mereka untuk riyadhoh. Dengan cara berzikir, salat lima waktu berjamaah, salat duha, dan tahajud,” papar Tri.

Untuk pendanaan dan biaya operasional selama ini, Tri mengaku tidak pernah mengajukan proposal ke pihak lain.

Namun, banyak pemeduli yang memintanya untuk membuat proposal, baru kemudian ia membuatnya.

“Amanah dari Abah Anom, Allah pasti akan menolong. Awal-awal kami pernah hanya bisa membiayai untuk makan Rp3 ribu per orang. Sarapan Rp1 ribu, siang Rp1 ribu, dan malam Rp1 ribu,” ungkapnya.

Namun, kini santri-santrinya sudah cukup sejahtera untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Dorong Pengusaha Muda, Muhammadiyah Bangun Pondok Pesantren Wirausaha

Meski demikian, ia masih perlu berbenah untuk banyak sisi yang lain.

Misalnya, kebutuhan akan tenaga profesional, semisal psikolog dan dokter.

“Pernah ada yang datang ke sini tapi tidak bisa nyambung. Tidak satu frekuensi. Karena mereka menarik biaya, kami tidak punya. Hubungannya transaksional kerja. Kalau ada tenaga profesional yang mau membantu dengan ikhlas, digerakkan qolbu, itu ideal sekali. Kami terbuka,” tuturnya.

Sementara, dari pihak keluarga santri pun Tri tidak pernah menetapkan biaya.

Mereka dipersilakan berinfak sukarela.

Pernah ada donasi yang datang dari Baitul Mal PLN, jJuga Mandiri Amal Insani yang setiap bulan memberi bantuan untuk upah para relawan.

Selebihnya, bantuan datang dari masjid-masjid sekitar dan masyarakat.

Hingga kini, Tri menuturkan, pesantrennya masih membutuhkan bantuan hingga santrinya dapat hidup dengan layak.

“Kami merasa masih jauh dari memadai. Setidaknya ada asrama yang layak, ruang khalwat (ruang untuk menenangkan diri bagi santri yang berperilaku destruktif, semisal sakau) yang memadai, juga dukungan dari pemerintah yang menghargai muatan lokal, tidak mementingkan formalitas semata,” tukasnya.

Mengenal Pondok Pesantren An-Nur Sewon, Ponpes Tahfidz Alquran

Seorang santri yang sempat ditemui Tribunjogja.com di kesempatan yang sama, Ahmad Mahfuri (23), mengaku datang ke Pesantren Tetirah Dzikir pada November 2019.

“Saat itu saya sudah setengah sadar. Akibat mengonsumsi pil-pil dan minuman keras. Saya tahu info pesantren dari mbak ipar,” ujar pria asal Kebumen itu.

Begitu masuk ke pesantren, Ahmad dipindahkan ke ruang khalwat.

Dia diajak untuk banyak berzikir.

“Saya sering mendengar salawat zikir, ada getaran. Lalu saya sambal mengucap zikir juga,” jelas Ahmad.

Tidak lama berselang, pada 17 Desember kondisi Ahmad sudah sepenuhnya pulih.

Hingga kini ia masih tinggal di pesantren sebagai \seorang relawan.

“Di sini menyenangkan. Saya membantu memandikan, menggantikan pakaian dan nyapu-nyapu,” tukasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved