Kekerasan dalam Diksar Mapala UII
UII Waktunya Berubah!
Mereka melihat kampus hanya sebagai tempat belajar semata bukan lagi tempat untuk berkarya, berlatih dan menggerakkan kepedulian.
…UNIVERSITAS Islam Indonesia padamu kami berjanji, majukan studi, giatkan bakti, Untuk pembangunan pertiwi…(Hymne UII)
Membanyangkan anak muda itu tewas karena penganiayaan sulit untuk dinalar. Pada saat ide demokrasi meluas dan nilai HAM ditebar kemana-mana kasus kekerasan ini seakan jadi bumerang.
UII memiliki Pusat Studi HAM yang populer dan dikenal dimana-mana. Banyak alumninya menjadi aktivis HAM dan bahkan pernah menjjabat sebagai ketua Komisioner Komnas HAM.
Simbol kampus ini bukan hanya para pendiri tapi dosen yang kiprahnya sebagai pejabat publik sangat harum. Diantaranya Moh Mahfud MD, Busyro Muqodas hingga Artidjo Alkostar.
Ketiganya boleh dibilang pendekar penegak hukum dan konstitusi. Pintu perubahan banyak di negeri ini sebagian melalui tangan serta karya mereka.
Kini tiba-tiba rumah dimana mereka dididik dan mendidik dicemarkan oleh kasus yang memalukan. Tiga mahasiswa tewas oleh pendidikan yang didesain sebagai pelatihan.
Kini Polisi mengambil alih kasus ini dan niscaya akan ditemukan para pelaku.
Hukum pasti menjeratnya tapi pendidikan tinggi macam apa yang meloloskan perbuatan keji semacam ini.
Saya pernah kuliah di UII cukup lama. Hampir selama 7 tahun dengan suasana yang akrab dan menyenangkan.
Dekade 90-an adalah masa dimana UII mengalami masa emas: organisasi mahasiswa tumbuh dengan dukungan pejabat kampus yang luar biasa.
Tak terbilang berapa kali aksi demonstrasi dirintis dari kampus ini dengan tuntutan yang progresif. Dosen juga mudah ditemui, akrab dan selalu memberi inspirasi.
Saat mana karier sebagai dosen jadi pilihan paling segar dan memberi kebebasan. Itulah masa-masa dimana kebebasan intelektual dijamin sehingga UII seperti miniatur Indonesia mini.
Walau HMI punya pengaruh penuh tapi juga ada organ kiri yang bertahan hingga kini.
Situasi yang membuat kehidupan mahasiswa menjadi lebih dinamis.
Rasa-rasanya saat itu kekerasan bukan bagian dari tradisi kecuali ketika penerimaan mahasiswa baru.