Prof. Djati Ajak Masyarakat Menghidupkan Kembali Kearifan Lokal untuk Tata Ruang Berkelanjutan

Prof. Djati Mardiatno menekankan bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki kecerdasan lokal yang lahir dari pengamatan dan pengalaman

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Hari Susmayanti
Dok Tribun Jogja
JEJAK HIJAU : Kepala PSLH UGM, Prof. Djati Mardiatno, mengajak masyarakat menghidupkan kearifan lokal yang relevan sebagai fondasi tata ruang berkelanjutan dalam sesi podcast Jejak Hijau. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Indonesia secara geografis sangat rawan terhadap aneka bencana alam.

Kondisi tersebut menuntut perencanaan tata ruang yang tidak hanya mengandalkan kebutuhan ruang, tetapi juga mempertimbangkan karakter lahan. 

Prof. Djati Mardiatno dari Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM menekankan bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki kecerdasan lokal yang lahir dari pengamatan dan pengalaman.

Cara-cara lokal seperti pembangunan rumah panggung di daerah banjir, aturan adat yang mengatur pembangunan, atau bentuk-bentuk bangunan yang menyesuaikan wilayah, adalah bukti nyata bagaimana leluhur pendahulu beradaptasi dengan kondisi alam. 

“Sebenarnya pemahaman masyarakat terhadap proses geomorfik, terhadap landform, sudah ada sebetulnya, manusia itu kan pada dasarnya dia itukan memiliki kemampuan untuk pengamatan yang kemudian belajar dari pengalaman itulah yang dilakukan para pendahulu-pendahulu kita”, jelas Prof. Djati.

Sayangnya, banyak kearifan ini dianggap ketinggalan zaman. Padahal, ada yang masih sangat relevan dengan tantangan lingkungan saat ini. 

“Sebetulnya sudah ada, cuma ya itu tadi kadang-kadang dianggap sudah ketinggalan”, tambahnya.

Melalui penerapan ini, masyarakat menjadi dapat beradaptasi dengan lingkungan sekalipun yang memiliki risiko rawan bencana.

Meskipun demikian, penerapan kearifan lokal ini dapat menghalangi mitigasi yakni menghindarkan masyarakat dari kawasan berisiko. 

“Contoh ya ini, daerah-daerah yang sudah memang diidentifikasi sangat rawan terhadap gerakan tanah, longsor misalnya, masih banyak yang dihuni”, terangnya.

Baca juga: Dukungan Kunci Program MBG, PGN Sabet National Priority Support Award Berkat Pasokan Energi Bersih

Faktor ekonomi, kebutuhan ruang, dan kebiasaan turun-temurun membuat praktik kearifan lokal ini malah menjadikan masyarakat beradaptasi di wilayah yang tidak seharusnya.

Akibatnya, upaya mitigasi dan penataan ruang, tidak berjalan optimal.

Regulasi yang sebetulnya mengatur terkait tata ruang ini sudah ada, dimana sudah ditentukan kawasan lindung, penyangga dan budidaya yang bisa diikuti.

Namun implementasi dalam masyarakat masih kurang baik.

“Sebetulnya kalau dari aturan dan regulasi dari penelitian kajian itu sudah banyak, cuma kita implementasi saja sebenarnya”, ujarnya.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved