Kisah Inspiratif
Kisah Tiga Mahasiswa Dirikan YEP, Komunitas Pengabdian untuk Anak-Anak Berkebutuhan Khusus
Tujuannya tidak hanya transfer ilmu, tetapi juga membiasakan anak-anak berinteraksi dan merasa nyaman bertemu dengan orang-orang baru dari luar.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
Ringkasan Berita:
- Tiga remaja mendirikan YEP untuk membantu anak-anak dengan akses pendidikan terbatas, termasuk di Panti Asuhan Sayap Ibu.
- Pengajaran difokuskan pada keterampilan hidup dan fun learning, sambil menghadapi tantangan bonding dengan anak-anak disabilitas mental.
- YEP memperluas pengabdian ke Dusun Bantalwatu dengan mengajar Bahasa Inggris bagi anak-anak yang kekurangan akses guru.
TRIBUNJOGJA.COM - Di tengah hiruk pikuk perkuliahan dan organisasi formal di kampus, tiga sosok remaja ini memilih jalur pengabdian untuk menemukan makna kemanusiaan.
Jiwa sosial yang menggebu-gebu membawa Sabrina (21), Emily (20), dan Rachel (20) untuk menggagas komunitas Youth Exceeding Program (YEP).
Berdirinya komunitas ini dengan tujuan memperdalam pendidikan dan menyediakan ruang kegiatan sosial bagi anak-anak yang memiliki akses terbatas.
Niat tulus ini kemudian membawa YEP dalam salah satu programnya menjalin kerja sama dengan Panti Asuhan Sayap Ibu, yang beralamat di Pringwulung, Sleman, DIY.
Tentu, kerja sama ini datang dengan tantangan unik.
“Di Panti Asuhan Sayap Ibu, kebanyakan anak-anak mengidap disabilitas mental. Sehingga model pembelajaran yang kami bawa harus disesuaikan,” terang Sabrina, salah satu pendiri yang bertanggung jawab atas urusan kurikulum YEP, kepada Tribun Jogja beberapa waktu lalu.
Fokus pengajaran pun bergeser dari teori-teori akademik. YEP berfokus pada pelatihan non-akademik, yaitu keterampilan praktis yang akan menjadi bekal hidup.
Baca juga: Komisi A DPRD DIY Minta Program Prioritas Tetap Jalan di Tengah Pemangkasan RAPBD 2026
Mereka mengajarkan hal-hal sederhana namun esensial, seperti cara membaca jam, mengenali dan mengelola emosi, hingga bertransaksi menggunakan uang.
Namun, teori akademik tidak benar-benar ditinggalkan. Mereka mengisi kegiatan edukasi akademik dibungkus dengan praktik fun learning.
Ketiga pendiri ini memahami betul kondisi lingkungan anak-anak asuh mereka. Kegiatan harian anak panti asuhan memang sangat terbatas, hanya berputar di lingkungan panti dan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang anak-anak ikuti.
Kesadaran inilah yang menjadikan kunjungan YEP sebagai agenda rutin.
Tujuannya tak hanya transfer ilmu, tetapi juga membiasakan anak-anak berinteraksi dan merasa nyaman bertemu dengan orang-orang baru dari luar.
Namun, mengukir kisah pengabdian ini menguji batas kesabaran. Tantangan terbesar, sebagaimana diakui oleh para pendiri YEP, justru terletak pada proses menumbuhkan keterikatan emosional atau mereka sebut bonding.
Baik Sabrina, Emily, dan Rachel sama-sama mengakui bahwa dalam menghadapi anak-anak disabilitas mental perlu kesabaran ekstra.
| Cerita Tenun Lurik Tradisional Indonesia Mendunia Lewat Galeri LAWE di Bantul |
|
|---|
| Cerita Penjual Roti Hangat Keliling Jogja Bawa Tumpukan Kotak Menjulang Tinggi |
|
|---|
| Kisah Sri Ratna Saktimulya Menyusun Manuskrip Kuno Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta |
|
|---|
| Kisah Eva Lanjutkan Usaha Djadjanan Pak Darso Pasar Beringharjo Yogyakarta |
|
|---|
| Dari Bantul ke Pasar Global: Nurmalita Tawarkan Produk Handmade Berbahan Kain Perca |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Pendiri-YEP.jpg)