DIY Permudah Akses UMKM Masuk Pengadaan Pemerintah
Banyak perubahan yang mempengaruhi pelaksanaan pengadaan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Ringkasan Berita:
- Pemda DIY berupaya menunjukkan bahwa proses pengadaan sebenarnya dapat diakses dengan mudah oleh UMKM.
- Sistem pengadaan berbasis elektronik sudah jauh lebih mudah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
- Berikut penjelasan dari Biro Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) DIY
TRIBUNJOGJA.COM - Pengadaan barang dan jasa pemerintah selama ini kerap dipandang rumit, berbelit, dan tidak ramah bagi pelaku usaha kecil.
Namun, pemerintah daerah melalui Biro Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) DIY berupaya menunjukkan bahwa proses pengadaan sebenarnya dapat diakses dengan mudah, terutama setelah hadirnya regulasi baru, sistem digital yang semakin matang, serta afirmasi yang kuat bagi pelaku UMKM.
Gagasan tersebut mengemuka dalam Podcast Insight Pengadaan Barang dan Jasa DIY yang menghadirkan Pengelola PBJ Muda Biro PBJ DIY, Mino dan Bobi Setiawan Gunardi, serta Ketua Komisi C DPRD DIY, Nur Subiantoro.
Perbincangan dibuka dengan pertanyaan ringan tentang pengalaman pelaku UMKM yang kerap merasa canggung untuk masuk ke ekosistem pengadaan.
Mino menegaskan bahwa hambatan itu lebih bersifat psikologis ketimbang teknis. Ia menuturkan bahwa sistem pengadaan berbasis elektronik sudah jauh lebih mudah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
“Kalau sudah terbiasa menggunakan media sosial, itu sebenarnya sama saja dengan cara kerja platform pengadaan. Tinggal registrasi, melengkapi identitas, lalu melakukan verifikasi dokumen. Setelah itu sudah bisa ikut pengadaan. Jadi tidak serumit yang banyak orang bayangkan,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa pelaku usaha perlu mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui PTSP sebelum masuk ke sistem.
Penyelarasan
Banyak perubahan yang mempengaruhi pelaksanaan pengadaan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya melalui Perpres 46 Tahun 2025 yang memperbarui sejumlah ketentuan dasar.
Mino menjelaskan bahwa perubahan itu bersifat menyelaraskan, termasuk integrasi pengadaan di tingkat desa agar mengikuti kaidah pengadaan pemerintah pusat dan daerah.
“Sebelumnya pengadaan desa itu seperti di luar sistem umum PBJ. Sekarang aturannya masuk ke ketentuan pengadaan pemerintah yang lebih besar. Jadi semuanya berada pada satu kerangka yang sama,” katanya.
Perubahan teknis juga dibahas oleh Bobi Setiawan Gunardi. Ia menyampaikan salah satu poin penting dalam Perpres terbaru, yakni kenaikan batas nilai pekerjaan konstruksi yang dapat dilakukan melalui pengadaan langsung. Jika pada ketentuan lama nilai 200 juta rupiah merupakan batas maksimal, kini batas itu naik menjadi 400 juta rupiah.
“Yang dulu sampai 400 juta harus tender, sekarang bisa pengadaan langsung oleh perangkat daerah tanpa proses tender. Ini membuat proses lebih cepat dan memberi peluang lebih besar bagi pelaku usaha skala kecil untuk ikut berpartisipasi,” ujarnya.
Transparansi menjadi salah satu isu yang sering disorot publik. Bobi menegaskan bahwa seluruh informasi terkait rencana pengadaan sudah dibuka melalui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP). Ia menceritakan pengalaman saat masih bertugas di perangkat daerah lain.
“Waktu itu saya pernah didatangi calon penyedia yang mendapat informasi dari SIRUP bahwa dinas kami akan mengadakan pengadaan komputer. Mereka langsung bertanya apakah mereka bisa mengajukan penawaran. Itu menunjukkan bahwa rencana pengadaan benar-benar dapat diakses masyarakat dan dapat dimanfaatkan untuk mempersiapkan diri lebih awal,” katanya. Menurut dia, keterbukaan ini penting untuk memastikan persaingan sehat dan pemerataan kesempatan.
Selain transparansi, keberpihakan kepada UMKM juga disorot. Mino mengurai bahwa terdapat perbedaan antara pengadaan yang wajib dan yang diprioritaskan bagi UMKM. Mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang percepatan penggunaan produk dalam negeri dan UMKM, minimal 40 persen belanja pemerintah diarahkan kepada UMKM.
“Untuk nilai sampai 2,5 miliar itu wajib diperuntukkan UMKM. Sedangkan hingga 15 miliar itu diprioritaskan untuk UMKM selama mereka mampu. Jadi kecilnya usaha tidak boleh membuat pelaku usaha berkecil hati. Peluangnya justru besar karena regulasinya mengamanatkan afirmasi itu,” katanya.
Fungsi kontrol
Dari sisi pengawasan, Ketua Komisi C DPRD DIY, Nur Subiantoro, menegaskan bahwa DPRD memiliki fungsi kontrol untuk memastikan proses pengadaan berjalan sesuai aturan.
Menurut dia, seluruh proses di perangkat daerah harus melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) untuk menjamin standar yang sama.
“Ketika semua mekanisme dilalui sesuai ketentuan, mulai perencanaan, penganggaran, sampai pelaksanaan, proses itu dianggap berjalan benar. Kami mendorong agar setiap kegiatan selesai tepat waktu karena serapan anggaran lebih awal akan memberi dampak ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat,” ujarnya.
Nur juga mengingatkan agar perangkat daerah tidak menumpuk pekerjaan di akhir tahun anggaran.
Dalam percakapan tersebut Mino menguraikan bahwa proses pengadaan sebenarnya dimulai jauh sebelum tender berlangsung. Ia menjelaskan bahwa tahap perencanaan dilakukan sejak tahun anggaran sebelumnya.
“Pengadaan itu bukan hanya soal memilih penyedia. Ada proses panjang sejak perencanaan: menentukan barang apa, spesifikasinya apa, harga perkiraannya berapa. Dengan tahapan panjang itu, risiko-risiko bisa dihitung dan diminimalkan sejak awal,” katanya.
Hal ini menurutnya penting agar belanja pemerintah tidak berubah tiba-tiba di tengah pelaksanaan, kecuali dalam kondisi yang benar-benar terukur.
Kebutuhan untuk menjalankan perencanaan secara disiplin dipertegas oleh Nur. Ia menjelaskan bahwa setiap usulan kegiatan dari perangkat daerah harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Dalam konteks DIY, beberapa program besar bahkan harus dilakukan secara multi-year untuk menyesuaikan kemampuan belanja. “Perencanaan itu dibuat supaya belanja benar-benar sesuai skala prioritas. Kalau kemampuan anggaran belum memungkinkan, kegiatannya bisa dibagi bertahap dalam beberapa tahun,” ucapnya.
Isu evaluasi tender juga mendapat perhatian dalam diskusi. Bobi menuturkan bahwa evaluasi dilakukan dengan mencocokkan penawaran penyedia terhadap spesifikasi teknis, persyaratan personel, peralatan, dan dokumen legalitas. Ia mencontohkan bagaimana ketidaksesuaian spesifikasi dapat langsung menggugurkan peserta.
“Kalau dinas butuh kursi berkaki empat, lalu ada penawaran kursi berkaki tiga, ya tidak bisa. Itu tidak memenuhi spesifikasi. Evaluasinya harus apa adanya,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa beberapa penyedia mencoba menyerahkan dokumen yang meragukan sehingga harus diklarifikasi ke penerbitnya.
Dalam praktik, tidak semua kontrak berjalan mulus. Nur mengungkapkan bahwa pernah terjadi penyedia dinyatakan pailit di tengah pekerjaan. Menurut dia, pemerintah harus bergerak cepat untuk mencari pengganti agar masyarakat tidak terkena dampaknya.
“Kami meminta dinas segera mencari penggantinya. Proyek itu untuk masyarakat, jadi tidak boleh terhenti karena perusahaan tidak mampu melanjutkan,” katanya.
Digitalisasi sistem juga mengubah cara kerja penyedia. Seluruh dokumen tender kini diunggah secara daring tanpa perlu mencetak berkas fisik.
Meskipun demikian, Bobi menyebut bahwa penyusunan dokumen penawaran harga tetap membutuhkan ketelitian, terutama pada pekerjaan konstruksi yang melibatkan perhitungan komponen biaya, material, biaya overhead, dan proyeksi harga di tahun berjalan. Bagi perusahaan baru berusia kurang dari tiga tahun, pemerintah memberikan kelonggaran berupa tidak diwajibkannya pengalaman pekerjaan.
Pola penawaran
Salah satu fenomena menarik yang diungkap dalam diskusi adalah kemunculan pola penawaran yang sama dari banyak penyedia, khususnya penawaran sekitar 80 persen dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Menurut Mino, fenomena itu harus dicermati.
“Kadang ada banyak penawaran yang sama persis, seperti semuanya menembak tepat di angka 80 persen. Itu harus dikaji apakah ada keterkaitan antarpeserta. Kami biasanya melihat kualifikasi, apakah ada pengurus yang sama atau tenaga ahli yang sama di beberapa perusahaan,” ujarnya.
Penelusuran itu penting untuk memastikan tidak ada indikasi pengaturan penawaran.
Seluruh narasumber sepakat bahwa tantangan terbesar bukan terletak pada sistemnya, melainkan pada keberanian pelaku usaha untuk mulai terlibat.
Melalui regulasi baru yang lebih inklusif, penggunaan sistem elektronik, dan upaya afirmasi UMKM, pemerintah ingin membuka ruang partisipasi lebih luas dalam pengadaan barang dan jasa.
Di sisi lain, pemerintah daerah dan DPRD berupaya memastikan bahwa proses tersebut berjalan transparan, terukur, dan berdampak bagi masyarakat.
| QRIS Jadi Komponen Credit Scoring UMKM, OJK DIY Tekankan Perlindungan Data Pribadi |
|
|---|
| Belanja 40 Persen untuk UMKM, Biro PBJ DIY Dorong Optimalisasi e-Katalog |
|
|---|
| DLHK DIY Targetkan Pembangunan PSEL Rampung 2027, Operasional Mulai 2028 |
|
|---|
| Kolaborasi Pemkot Yogya dan Meta, Geber Digitalisasi Pasar Rakyat Lewat Konsep 'Hybrid' |
|
|---|
| Pemda DIY Perkuat Transparansi Pengadaan, UMKM Didorong Masuk Sistem e-Purchasing |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/DIY-Permudah-Akses-UMKM-Masuk-Pengadaan-Pemerintah.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.