Elemen Sipil Yogyakarta Desak Pemerintah Batalkan Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Ini Alasannya

Forum menyebut pemberian gelar kepada Soeharto sebagai tindakan yang mencederai nilai kemanusiaan, keadilan, dan integritas moral bangsa.

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Rapat Oemoem yang diinisiasi Forum Cik Ditiro di Yogyakarta, Selasa (11/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Sejumlah elemen masyarakat sipil di Yogyakarta menolak gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
  • Pemerintahan Prabowo Subianto dinilai membunuh nurani bangsa dengan memberi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto

 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah elemen masyarakat sipil di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Cik Ditiro dan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia menegaskan penolakan terhadap keputusan pemerintah yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan pada “Rapat Oemoem” di Jalan Suryodiningratan, Selasa (11/11/2025), mereka menegaskan, “Soeharto bukan pahlawan.”

Dalam naskah pernyataan sikap berjudul “Soeharto Bukan Pahlawan”, forum menyebut pemberian gelar kepada Soeharto sebagai tindakan yang mencederai nilai kemanusiaan, keadilan, dan integritas moral bangsa.

“Pemerintahan Prabowo Subianto membunuh nurani bangsa dengan memberi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, yang seharusnya dituntut di pengadilan karena pelanggaran HAM berat, korupsi, kolusi, dan nepotisme,” demikian isi pernyataan itu.

Forum menyebut kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan serta Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2022, yang mengatur bahwa penerima gelar pahlawan harus memiliki integritas moral, keteladanan, dan tidak pernah menghianati bangsa dan negara.

Dalam pernyataan itu, warga negara Indonesia di Yogyakarta menuntut lima hal.

Pertama, menolak penganugerahan Soeharto sebagai pahlawan nasional. 

Kedua, meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Keputusan Presiden terkait gelar tersebut karena dianggap bertentangan dengan sila Pancasila dan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ketiga, mendesak Kementerian Pendidikan untuk memperkuat pendidikan sejarah yang menanamkan nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.

Selain itu, forum juga menyerukan agar media bersikap adil dalam memberitakan sejarah dan mengajak masyarakat untuk berpihak pada kebenaran serta menolak manipulasi sejarah masa lalu.

“Kami menolak upaya negara melupakan batas antara kebenaran dan kesalahan. Hari Pahlawan seharusnya menjadi pengingat akan martabat dan keadilan, bukan ajang memutihkan pelaku pelanggaran kemanusiaan,” bunyi penegasan dalam pernyataan itu.

Baca juga: Rapat Oemoem di Yogyakarta: Menolak Lupa, Menolak Gelar Pahlawan bagi Soeharto

Forum Cik Ditiro menyatakan, keputusan pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto tidak hanya melukai keluarga korban pelanggaran HAM, tetapi juga merendahkan makna perjuangan bangsa.

“Pahlawan sejati adalah mereka yang menjunjung kemanusiaan dan keadilan, bukan mereka yang menindas bangsanya sendiri,” tulis mereka.

Diberitakan sebelumnya, forum ini menyatakan bahwa kebijakan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, pengekangan kebebasan sipil, dan ketidakadilan terhadap perempuan serta masyarakat adat.

Forum Cik Ditiro, yang merupakan wadah konsolidasi masyarakat sipil lintas sektor di Yogyakarta, menyebut kegiatan tersebut sebagai ruang moral dan literasi sejarah bagi publik untuk mengingat kembali praktik kekerasan dan penindasan yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru. 

Rapat umum itu menghadirkan penyintas, akademisi, dan aktivis lintas generasi. Kegiatan diisi dengan sesi testimoni korban, pameran “museum bergerak” berupa foto-foto dokumentasi kekerasan masa Orde Baru, serta “ruang peduli” yang menyediakan tempat bagi peserta untuk menuliskan refleksi dan pesan solidaritas.

Salah satu penyintas yang hadir, Karmi, mengisahkan pengalaman masa kecilnya saat terjadi penangkapan besar-besaran di desanya pada 1965. Ia menuturkan bagaimana aparat mendatangi rumah-rumah dan menahan warga tanpa proses hukum yang jelas. 

“Kami sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Orang-orang dibawa begitu saja dan tidak pernah kembali,” ujar Karmi.

Ia menambahkan, banyak perempuan yang mengalami kekerasan, termasuk pelecehan seksual, namun tak berani bersuara karena takut dan malu. 

“Sampai sekarang, hidup kami masih membawa stigma itu,” tuturnya.

Selain testimoni penyintas, akademisi hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bertentangan dengan prinsip integritas moral yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

“Rezim Soeharto merupakan rezim otoritarian yang mengekang kebebasan berpikir, membungkam perbedaan, dan menyingkirkan kritik dengan kekerasan,” ujarnya.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Perdana Wiratraman menyatakan pemberian gelar pahlawan nasional seharusnya membuka kembali ingatan kolektif tentang kekejaman rezim Soeharto dan peran militer yang menguat pada masa itu.

Menurut Herlambang, praktik otoritarianisme pada masa Orde Baru melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang sistematik: penyingkiran, penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual, pemiskinan keluarga korban, hingga pengambilalihan rumah ibadah. Dampak tindakan itu, kata dia, masih menghantui keluarga korban dan komunitas di daerah hingga kini.

“Kita tahu, pada masa itu banyak sekali penyusupan tangan-tangan kekuasaan, penyingkiran keluarga, penahanan yang begitu mudah terjadi, serta kekerasan demi kekerasan yang terus berlangsung. Penyusupan dan kekerasan itu membuat keluarga korban tidak akan pernah lupa,” ujar Herlambang. (*)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved