Elemen Sipil Yogyakarta Desak Pemerintah Batalkan Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Ini Alasannya
Forum menyebut pemberian gelar kepada Soeharto sebagai tindakan yang mencederai nilai kemanusiaan, keadilan, dan integritas moral bangsa.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
Forum Cik Ditiro, yang merupakan wadah konsolidasi masyarakat sipil lintas sektor di Yogyakarta, menyebut kegiatan tersebut sebagai ruang moral dan literasi sejarah bagi publik untuk mengingat kembali praktik kekerasan dan penindasan yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru.
Rapat umum itu menghadirkan penyintas, akademisi, dan aktivis lintas generasi. Kegiatan diisi dengan sesi testimoni korban, pameran “museum bergerak” berupa foto-foto dokumentasi kekerasan masa Orde Baru, serta “ruang peduli” yang menyediakan tempat bagi peserta untuk menuliskan refleksi dan pesan solidaritas.
Salah satu penyintas yang hadir, Karmi, mengisahkan pengalaman masa kecilnya saat terjadi penangkapan besar-besaran di desanya pada 1965. Ia menuturkan bagaimana aparat mendatangi rumah-rumah dan menahan warga tanpa proses hukum yang jelas.
“Kami sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Orang-orang dibawa begitu saja dan tidak pernah kembali,” ujar Karmi.
Ia menambahkan, banyak perempuan yang mengalami kekerasan, termasuk pelecehan seksual, namun tak berani bersuara karena takut dan malu.
“Sampai sekarang, hidup kami masih membawa stigma itu,” tuturnya.
Selain testimoni penyintas, akademisi hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bertentangan dengan prinsip integritas moral yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Rezim Soeharto merupakan rezim otoritarian yang mengekang kebebasan berpikir, membungkam perbedaan, dan menyingkirkan kritik dengan kekerasan,” ujarnya.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Perdana Wiratraman menyatakan pemberian gelar pahlawan nasional seharusnya membuka kembali ingatan kolektif tentang kekejaman rezim Soeharto dan peran militer yang menguat pada masa itu.
Menurut Herlambang, praktik otoritarianisme pada masa Orde Baru melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang sistematik: penyingkiran, penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual, pemiskinan keluarga korban, hingga pengambilalihan rumah ibadah. Dampak tindakan itu, kata dia, masih menghantui keluarga korban dan komunitas di daerah hingga kini.
“Kita tahu, pada masa itu banyak sekali penyusupan tangan-tangan kekuasaan, penyingkiran keluarga, penahanan yang begitu mudah terjadi, serta kekerasan demi kekerasan yang terus berlangsung. Penyusupan dan kekerasan itu membuat keluarga korban tidak akan pernah lupa,” ujar Herlambang. (*)
| Rapat Oemoem di Yogyakarta: Menolak Lupa, Menolak Gelar Pahlawan bagi Soeharto |
|
|---|
| Pesan Bupati Klaten Saat Peringatan Hari Pahlawan Nasional 2025 |
|
|---|
| Tragedi Marsinah Diakui Negara: Aktivis Buruh Perempuan Dapat Gelar Pahlawan Nasional |
|
|---|
| Fakta-fakta Soeharto Mendapat Gelar Pahlawan Nasional di Hari Pahlawan 2025 |
|
|---|
| Massa Jogja Memanggil Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Rapat-Oemoem-yang-diinisiasi-Forum-Cik-Ditiro.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.