Pengawasan MBG Lemah, SPPG Abai, Keracunan Berlanjut

Hampir 700 siswa sekolah di Gunungkidul, DI Yogyakarta diduga keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Penulis: Joko Widiyarso | Editor: Joko Widiyarso
Tribun Jogja/Nanda Sagita Ginting
KERACUNAN MBG: Seorang siswa mendapatkan penanganan medis usai mengalami gejala keracunan di RS Saptosari, Gunungkidul pada Rabu (29/10/2025) 

Ringkasan Berita:
  • 695 siswa di Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG
  • Menurut Sultan HB X, pelaksana di lapangan sering kali abai terhadap hal-hal mendasar seperti suhu penyimpanan daging dan waktu pengolahan makanan.
  • Tidak hanya siswa, sejumlah guru di Gunungkidul juga menjadi korban dugaan keracunan makanan program MBG 

 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Hampir 700 siswa sekolah di Gunungkidul, DI Yogyakarta diduga keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
 
Lemahnya pengawasan di lapangan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi sorotan utama yang dianggap masih diabaikan.

Bahkan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X turut mengomentari masalah terhadap program andalan Presiden Prabowo Subianto itu.

Menurut Sultan HB X, pelaksana di lapangan sering kali abai terhadap hal-hal mendasar seperti suhu penyimpanan daging dan waktu pengolahan makanan.

Sebelumnya, sebanyak 695 siswa di Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG yang disediakan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Planjan Saptosari, Selasa (28/10/2025). 

Para siswa berasal dari dua sekolah, yakni SMP Negeri 1 Saptosari dan SMK Saptosari.

Sebagian besar mengeluhkan mual, muntah, dan pusing beberapa jam setelah makan siang.

Menanggapi hal itu, Sri Sultan HB X menilai persoalan utama terletak pada pengawasan teknis saat persiapan makanan di dapur.

Menurutnya, kasus seperti ini seringkali terjadi karena kurangnya pemahaman dasar tentang keamanan pangan di kalangan penyedia makanan, terutama ketika mereka harus memasak dalam jumlah besar untuk banyak penerima manfaat.

Baca juga: Pascakeracunan MBG, 20 Siswa SMP Saptosari  Gunungkidul Belum Masuk Sekolah

“Oh iya, soal keracunan itu saya tidak tahu pasti penyebabnya. Apakah karena masaknya terlalu pagi atau malam, saya tidak tahu persis,” kata Sri Sultan. 

“Tapi selalu saya katakan, kalau memang jumlahnya terlalu banyak di luar kemampuan yang memasak, misalnya dimakan jam 8 atau jam 10, khususnya untuk sayur atau daging yang dimasak untuk banyak orang, mestinya kan membutuhkan es batu atau freezer,” imbuhnya.

Sri Sultan menjelaskan, makanan yang disiapkan dalam jumlah besar memerlukan perlakuan khusus agar tetap aman dikonsumsi.

“Kalau untuk 40–50 orang, berarti berapa kilo daging atau sayur? Itu harus disimpan di tempat dingin. Kalau tidak didinginkan, lima jam saja bisa berubah warna jadi kebiruan. Kalau kemudian digoreng, ya bisa bikin mabuk, bisa menimbulkan keracunan. Itu logika sederhana, tidak perlu dokter pun bisa paham,” ujarnya menegaskan.

Menurut Sri Sultan, risiko keracunan dapat diminimalkan bila dapur pengolahan diawasi dengan cermat oleh orang yang memahami proses memasak dan penyimpanan bahan makanan.

Ia menilai, pengawasan administratif tidak cukup jika tidak diimbangi pemahaman teknis di lapangan.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved