API DIY Dorong Pemerintah Buru Oknum di Level Elite, Bukan Penjual Pakaian Bekas Impor

Kontainer campuran masih diperbolehkan di Indonesia, padahal itu memengaruhi industri pakaian jadi hingga mengakibatkan terjadinya perang harga

TRIBUNJOGJA.COM / Suluh Pamungkas
ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah bakal melakukan pengetatan pengawasan hingga penindakan untuk pelaku impor pakaian bekas.

Hal tersebut untuk memutus masuknya pakaian bekas hasil impor ilegal yang mengancam industri dalam negeri.

Menurut Wakil Ketua Asosiasi Perhotelan Indonesia (API) DIY, Timotius Apriyanto, mengatakan semangat pemerintah sudah bagus.

Namun, penataan melalui pengetatan dan lainnya sebaiknya dilakukan dengan pemahaman yang komprehensif.

Ia menilai thrift merupakan gaya hidup untuk berhemat.

Dalam sirkular ekonomi, khususnya sirkular fesyen, thrifting termasuk dalam reuse atau menggunakan kembali.

“Di negara maju pun ada thrifting, seperti di Kanada, Amerika, Inggris, Belanda, Prancis. Ada yang namanya thrift store, karena tentu strata ekonomi orang kan tidak sama. Siklus mode itu kan cepat, setiap musim nanti berganti model,” katanya, Kamis (30/10/2025).

“Lalu orang yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi, dia akan mudah untuk berganti pakaian. Lalu mereka menjual itu atau mereka menyerahkan di rumah-rumah donasi atau mereka akan mendatangi thrift store namanya. Thrift store itu untuk mereka yang ingin membeli pakaian yang tidak bisa membelinya,” sambungnya.

Ia memandang ada kesalahan dalam memandang thrifting. Thrifting dipandang sebagai akar masalah, padahal sebenarnya bukan. 

Tidak hanya jalan-jalan tikus untuk penyelundupan impor, tetapi juga impor remi yang kategorinya kontainer campuran. Dalam kontainer campuran itu dapat memuat berbagai barang dengan HS code yang berbeda-beda. 

Kontainer campuran masih diperbolehkan di Indonesia, padahal itu memengaruhi industri pakaian jadi hingga mengakibatkan terjadinya perang harga. 

“Yang harus ditertibkan adalah kebijakannya, kemudian orang-orang di level elite, di level atas itu yang memiliki akses untuk mengimpor barang-barang secara tidak bijaksana. Dan itu mempengaruhi pakaian jadi. Misalnya pakaian jadi yang baru-baru itu, yang tidak membayar pajak, tidak membayar bea cukai itu. Tapi oknum-oknum itu meloloskan itu,” terangnya.

“Itu kemudian mengakibatkan perang harga. Harus ditata menjadi sebuah ekosistem perdagangan dan industri yang berkelanjutan. Harus ada harmonisasi antara Kementerian Perdagangan dari kebijakannya dan juga Kementerian Perindustrian. Dan punya semangat yang sama untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang resilience, yang tangguh,” lanjutnya.

Ia mengungkapkan penjual pakaian bekas di Indonesia justru muncul akibat oknum-oknum yang mengimpor.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved