Kisah Inspiratif
Kisah Sepasang Suami Istri Puluhan Tahun Jualan Carabikang di Pasar Prawirotaman Jogja
Suami-istri penjual carabikang legendaris di Jogja itu sudah empat puluh tahun berjuang bersama, menjaga agar tetap memiliki cita rasa yang khas.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
“Nek kula mboten ngagem mundhakke regi, tetep regi biyasa. Kala nika setunggal ewu, napa sangang ngatus malah (Kalau saya tidak menaikkan harga, tetap harga biasa. Saat itu (harganya) Rp1.000, atau justru Rp900-red),” ungkap Badirin, sembari menutup maskernya kembali sebelum menyusun carabikang yang sudah jadi ke dalam kemasan berupa kertas minyak yang dilapisi lembaran daun pisang.
Kasilah menambahkan, mereka memahami semua orang sedang mengalami kesulitan ekonomi pada saat itu, sehingga mereka tidak mau menyusahkan sesama.
Kualitas Rasa Yang Tak Lekang Oleh Zaman
Ketika tren kuliner datang silih berganti, pasutri yang kini tinggal di daerah Giwangan itu mengaku mereka akan tetap setia pada prinsip lama, di mana kualitas rasa lebih utama di atas segalanya.
“Nggih nek kula niki sing penting kualitas tetep, soal harga nggih mengikuti kahanan. Sing penting kualitas-e tetep mawon (Ya kalau saya yang penting kualitas tetap, soal harga ya mengikuti keadaan. Yang penting kualitasnya tetap saja-red),” kata Badirin.
Harga carabikang yang konsisten murah meski beberapa kali mengalami kenaikan tidak menjadi alasan bagi mereka untuk menurunkan kualitas rasa carabikang.
Harga per satuan carabikang sebesar Rp25 saat pertama kali gerai dibuka hingga saat ini masih konsisten bertahan di bawah harga Rp2.000, tepatnya Rp1.250.
Baca juga: 15 Kue Tradisional Indonesia yang Masih Populer Hingga Kini
Badirin dan Kasilah sepakat bahwa menjaga kualitas rasa yang khas selalu menjadi prioritas utama mereka.
Tak heran hampir setiap hari tenda kecil mereka selalu ramai pembeli, dari anak kecil sampai orang tua, semua tertib mengantre di depan tungku kecil mereka.
“Carabikang-nya enak, lembut juga. Biasanya aku suka yang bagian bawahnya. Apalagi kalau masih panas, hangat-hangat itu masih ada bagian yang krispi di bawahnya, favorit pokoknya,” ucap Dila, salah satu pembeli yang sedang menunggu antrean pesanan.
Salah satu pembeli lain yang ikut mengantre, Fani, tengah memerhatikan Kasilah mengangkat carabikang dari loyang panas.
Ia menggambarkan rasa carabikang mereka yang sangat khas dan dapat membawanya bernostalgia ke masa lalu.
“Kalau aku sudah tahu dari kecil karena sudah jadi langganan mama. Suka karena rasanya enak, nggak yang manis banget, dan rasanya khas. Pernah beli di tempat lain nggak seenak yang disini,” ungkapnya.
Usia gerai yang sudah menginjak empat dekade membuat carabikang milik Badirin-Kasilah memiliki banyak pelanggan setia yang kemudian mengenalkan jajanan tradisional favorit mereka kepada anak dan cucu mereka.
Sambil tertawa ringan, sepasang suami istri itu bergantian menceritakan tentang beberapa pelanggan yang dulunya membeli carabikang mereka menggunakan seragam SD kini kembali datang berkunjung bersama pasangan dan anak-anak mereka.
Carabikang legendaris buatan Badirin dan Kasilah ini senantiasa hidup dalam kenangan banyak orang, meninggalkan cita rasa khas yang tak lekang oleh zaman. (MG Shafira Puti Krisnintya)
| Cerita Usaha Pinggir Jalan Menjawab Budaya Nongkrong Mahasiswa Yogyakarta |
|
|---|
| Wanita Asal Gunungkidul Sukses Perkenalkan Batik hingga ke Jepang |
|
|---|
| Cerita Warga Bantul Mengubah Sampah Kantong Plastik Jadi Rajutan Aksesoris |
|
|---|
| Cerita Mbah Sastro Warga Magelang Berusia 103 Tahun, Ungkap Rahasia Umur Panjang |
|
|---|
| Kisah Penjual Basreng Alun-Alun Kidul Yogyakarta dari Digendong hingga Naik Motor |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.