Produksi Massal dan Lemahnya Pengawasan Dinilai Picu Potensi Keracunan MBG
Dalam temuan UGM, durasi antara proses memasak, pengemasan, hingga konsumsi di sejumlah sekolah kerap melebihi empat jam.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
“Kapasitas sumber daya manusia menjadi kunci. Tanpa pemahaman dan disiplin terhadap prinsip higiene dan sanitasi, sistem sebaik apa pun tidak akan berjalan efektif,” ujar Citra.
PKT UGM juga menekankan pentingnya pengawasan berlapis dan berkelanjutan.
Menurut Citra, mekanisme kontrol yang jelas, monitoring periodik, serta koordinasi lintas sektor—antara pemerintah daerah, sekolah, dinas kesehatan, dan lembaga pendidikan—harus diperkuat.
“Kolaborasi berbagai pihak mutlak diperlukan agar anak-anak benar-benar mendapat manfaat program tanpa terpapar risiko keracunan pangan. Ini bukan semata soal gizi, tetapi juga soal keselamatan publik,” tegasnya.
Melalui hasil kajian tersebut, PKT UGM berharap pemerintah pusat dan daerah dapat menjadikan momentum ini sebagai evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola program MBG.
Tujuannya, agar pelaksanaan di lapangan benar-benar memenuhi prinsip keamanan pangan dan menjaga kepercayaan publik terhadap program prioritas nasional itu. (*)
Biaya Akibat Keracunan MBG di Mlati Sleman Ditanggung Pihak SPPG, Nilainya Capai Rp47 Juta |
![]() |
---|
Standar Higienitas SPPG Jadi Fokus Pemda DIY, Baru 10 Persen yang Bersertifikat |
![]() |
---|
Dua Dapur SPPG di Gunungkidul Ditutup Imbas Kasus Keracuan MBG |
![]() |
---|
Guru Besar UGM: MBG Sebaiknya Diserahkan ke Kantin Sekolah |
![]() |
---|
Tragedi MBG Semin: Ketika Suapan Makanan Bergizi Malah Menjadi Bakteri |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.