Royalti Musik Berlaku di Kafe
Royalti Musik Berlaku di Kafe, Pengusaha Jogja Minta Regulasi Lebih Ramah UMKM
Sejumlah pengelola kafe di Yogyakarta menyuarakan keresahan atas kebijakan pemerintah yang semakin ketat dalam penegakan hak cipta musik
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah pengelola kafe di Yogyakarta menyuarakan keresahan atas kebijakan pemerintah yang semakin ketat dalam penegakan hak cipta musik.
Mereka khawatir, kewajiban membayar royalti untuk lagu yang diputar di ruang publik, termasuk kafe, akan berdampak pada keberlangsungan usaha, terutama bagi pelaku usaha kecil.
Royalti adalah pembayaran yang diberikan kepada pemilik hak atas kekayaan intelektual, seperti hak cipta, paten, atau merek dagang, sebagai imbalan atas penggunaan aset tersebut.
Salah satu pengelola kafe di kawasan Kota Yogyakarta, Agung (bukan nama sebenarnya) mengungkapkan, dirinya tidak menolak kebijakan perlindungan hak cipta, tetapi ia berharap mekanisme dan implementasinya mempertimbangkan skala usaha.
“Karena kafe yang saya kelola masih relatif kecil, kebijakan tersebut berpotensi memengaruhi pendapatan kafenya,” ujarnya.
Ia juga memahami bahwa memutar musik di tempat usaha bukanlah pelanggaran, tetapi perlu melalui prosedur legal.
“Kami sadar arah kebijakan memperketat hak cipta itu bukan berarti melarang memutar karya musik di kafe. Namun, pengelola kafe harus mengetahui sekaligus melalui mekanismenya. Mulai pendaftaran lisensi hingga pembayaran royalti,” jelasnya.
Dengan rata-rata 70 pengunjung per hari dan harga menu yang cukup terjangkau—misalnya makanan berat dijual mulai Rp 10.000—pengelola tersebut menyebutkan tipisnya margin keuntungan.
“Paling mahal Rp 17 ribu,” tandasnya.
Pengelola kafe lainnya, Dwi, yang juga beroperasi di sekitar pusat kota Yogyakarta, menyampaikan bahwa pihaknya sempat mempertimbangkan untuk mematikan musik sepenuhnya di area kafe karena kebingungan terhadap aturan yang berlaku.
“Kami tidak menolak membayar royalti. Tapi jujur, dari sisi pelaku usaha kecil seperti kami, kadang sulit membedakan mana musik yang sudah berlisensi dan mana yang tidak. Kami juga tidak tahu harus mengurus ke mana,” katanya.
Ia menambahkan bahwa suasana kafe yang nyaman dan diiringi musik sudah menjadi bagian dari pengalaman pelanggan.
“Kalau musik harus dimatikan, itu justru bisa menurunkan daya tarik tempat kami. Padahal, banyak pelanggan datang untuk bersantai, bekerja, atau sekadar menikmati suasana. Kalau kami ditekan dengan kebijakan yang terlalu administratif tanpa pendampingan yang jelas, malah bisa mematikan kreativitas dan pelayanan,” tuturnya.
Baca juga: Musisi Perlu Pahami Aturan dan Pentingnya Royalti bagi Masa Depan Mereka
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Deddy Pranowo Eryono, menyatakan telah mengimbau seluruh anggotanya, khususnya pemilik restoran, untuk mengikuti aturan royalti guna menghindari masalah hukum.
“Tentunya dengan mengikuti aturan-aturan yang ada,” kata Deddy.
Keresahan Pemilik Kafe di Bantul Soal Aturan Denda Royalti Musik |
![]() |
---|
Kafe di Sleman Pilih Sunyi dan Putar Radio Imbas Takut Denda Royalti |
![]() |
---|
Khawatir Langgar Hak Cipta, Pemilik Kafe di Yogyakarta Pilih Tak Putar Musik |
![]() |
---|
Pengelola Kafe di Kulon Progo Pilih Tunggu Kejelasan Regulasi Soal Royalti Pemutaran Lagu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.