Pakar UGM Tanggapi Isu Uni Eropa Terapkan Relaksasi Regulasi Anti Deforestasi

Adanya relaksasi regulasi deforetasi menjadi momentum untuk memperkuat strategi transisi yang adil dan bertahap serta perbaikan tata kelola hutan.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Dok.Istimewa
Negara Uni Eropa 

Pemberlakuan EUDR oleh Uni Eropa ini dinilainya dapat menjadi momentum perbaikan tata kelola hutan di Indonesia.

Meski begitu, regulasi tersebut juga menyimpan risiko terhadap keberlanjutan ekspor komoditas kehutanan dan pertanian Indonesia, terutama bagi petani kecil.

Apalagi transformasi dari regulasi EUTR ke EUDR ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa legalitas belum tentu menjamin pencegahan deforestasi. Uni Eropa ingin memastikan bahwa produk yang mereka impor tidak berasal dari pembukaan hutan.

“Seperti di Indonesia contohnya mereka memperluas cakupan, bukan hanya kayu, tapi juga sawit, kopi, kakao, hingga daging dan kedelai,” ujarnya.

Menandai adanya pergeseran besar dari pendekatan legalitas ke keberlanjutan dalam pengelolaan hutan, diperlukan hanya soal izin, tapi juga asal-usul lahan dan dampaknya terhadap tutupan hutan.

Ini akan membuat standar jadi jauh lebih ketat dan kompleks, apalagi karena cakupannya bukan hanya satu komoditas. Secara prinsip, EUDR bisa menjadi peluang untuk mendorong tata kelola hutan yang lebih baik.

“Kalau benar-benar diimplementasikan dengan baik, regulasi ini bisa memperbaiki cara kita mengelola produksi kayu dan komoditas lainnya agar lebih bertanggung jawab,” imbuh Ahmad.

Di sisi lain, Ahmad Maryudi menekankan adanya risiko terhadap pelaku usaha, terutama untuk petani kecil.

Ia mencatat, sekitar 50 persen produksi sawit Indonesia berasal dari petani kecil, dan di sektor kopi dan kakao, angkanya bisa mencapai 90-100 % .

“Ini sistem yang costly (mahal). Bahkan perusahaan besar saja belum tentu langsung siap. Apalagi petani kecil yang punya keterbatasan teknis dan finansial. Mereka jelas akan terdampak,” katanya.

Meski Uni Eropa bukan pasar ekspor utama untuk semua komoditas, contohnya sawit lebih banyak dikirim ke Tiongkok dan India, Ahmad Maryudi menekankan pentingnya posisi Eropa secara politik. Ia merekomendasikan untuk tetap waspada.

“Uni Eropa sering jadi trend-setter regulasi global. Kalau mereka menetapkan standar, negara lain biasanya ikut menyesuaikan. Jadi meskipun pangsa pasarnya tidak dominan, kita tetap harus waspada karena tren globalnya mengarah ke sana,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved