Eco Enzim: Solusi Cerdas Mengolah Sampah Organik untuk Masa Depan Berkelanjutan
Selain menyuburkan tanaman, eco enzim dapat dimanfaatkan sebagai desinfektan alami, penjernih air dan udara, obat merah, pembersih serbaguna
Oleh
Margareta Rosemary
Metsi UGM angkatan genap 2023
Banyak orang beranggapan bahwa sampah plastik merupakan jenis sampah terbanyak.
Nyatanya menurut data KLHK tahun 2023, sampah organiklah yang terbanyak.
Jumlahnya mencapai 28,9 juta ton. Sampah organik yang tidak diolah menghasilkan gas metana yang memperparah pemanasan global.
Sampah organik jugalah penyebab tragedi ledakan TPA Leuwigajah 21 Februari 2005 silam yang menewaskan 157 korban jiwa.
Kini tanggal tersebut kita peringati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Biasanya sampah organik hanya dikompos untuk dijadikan pupuk.
Padahal ada cara lain yang dapat mengubahnya menjadi cairan sejuta manfaat, yaitu dijadikan eco enzim.
Eco enzim adalah cairan hasil fermentasi kulit buah dan sayur, gula, air selama minimal 3 bulan dalam wadah yang kedap.
Selain menyuburkan tanaman, eco enzim dapat dimanfaatkan sebagai desinfektan alami, penjernih air dan udara, obat merah, pembersih serbaguna.
Eco enzim sudah diteliti selama lebih dari 40 tahun oleh Dr. Rosukon, pendiri Asosiasi Pertanian Organik Thailand.
Menurut saya, eco enzim merupakan suatu metode pengolahan sampah organik yang menarik karena mudah, murah, dan multifungsi.
Poin pertama : mudah, saya sudah membuktikannya. Anak kos pun bisa mengolah 75 kg sampah organik menjadi 250 liter eco enzim.
Cukup dengan mencampurkan 100 gram gula, 300 gram kulit buah sayur, 1 liter air ke dalam botol 1,5 liter.
Simpan di bawah dipan tempat tidur. Ulangi sebanyak 250 kali.
Poin kedua : murah, satu-satunya bahan yang dibeli dalam pembuatan eco enzim adalah gula . 1 kilogram gula (molase) dapat menghasilkan 10 liter eco enzim.
Baca juga: Mahasiswa MeTSI UGM Bagas Wahyu Dewangga Raih Best Presenter Award di Ajang ICMED 2024
Poin terakhir : multifungsi. Selain manfaat yang disebutkan tadi, bagi saya pribadi eco enzim mengantarkan saya menjadi awardee beasiswa LPDP.
Ketika itu saya merupakan freshgraduate yang hobi membuat eco enzim di rumah, mencapai 8 ton.
Di tahap wawancara saya banyak ditanya mengenai cairan sejuta manfaat ini.
Sejak berkuliah di Magister Teknik Sistem (Metsi) UGM, saya semakin semangat mengolah sampah organik menjadi eco enzim karena banyak belajar mengenai konsep valorisasi limbah.
Valorisasi limbah merupakan suatu proses yang memberikan nilai tambah, dari limbah menjadi berkah.
Kulit buah dan sisa sayur yang kaya akan antioksidan dan fitokimia kita olah menjadi eco enzim.
Sampah organik lain seperti sisa makanan dan tulang ikan baru kita jadikan kompos.
Di Metsi UGM, saya juga belajar banyak mengenai Energi Baru Terbarukan khususnya mikroalga sebagai biofuel generasi ketiga.
Dalam penelitian tesis, saya mengkolaborasikan EBT dan lingkungan dengan menggunakan eco enzim untuk budidaya mikroalga.
Inilah kerennya lanjut studi di Metsi.
Ada begitu banyak peluang kolaborasi lintas disiplin untuk mendukung Indonesia Emas 2045 dan Net Zero Emission 2060. (*)
Marak Food Waste, 70 Persen Sampah Organik di Kota Yogya Bersumber dari Sisa Makanan |
![]() |
---|
FTB UAJY Beri Pelatihan Pengolahan Sampah Organik di Paroki Bandung Gunungkidul |
![]() |
---|
Kalurahan di Bantul Diminta Buat 'Joglangan' untuk Timbun Sampah Organik |
![]() |
---|
Tips Seimbangkan Kuliah, Karier, dan Dakwah ala Salasi Wasis Widyanto |
![]() |
---|
Mendorong Perempuan dalam Transisi Energi di Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.