Ratusan Akademisi Tuntut Penanganan Hukum yang Tuntas dari Rentetan Teror ke Jurnalis

Ia menilai kasus pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor Majalah Tempo adalah ancaman nyata terhadap kebebasan pers.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Freepik
PETISI: Ilustrasi hukum. Ratusan akademisi yang tergabung dalam forum Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers (AKBP ) menyampaikan petisi publik terkait berbagai insiden teror terhadap jurnalis, secara daring, Rabu (26/3/2025). 

“Polisi harus menghentikan praktik impunitas dengan tidak melakukan undue delay. Sebaliknya, polisi harus menjunjung supremasi hukum dengan menegakkan undang-undang pers yang menjamin kebebasan jurnalis untuk mengumpulkan, mengolah, dan
menyebarluaskan berita,” kata dia.

Kedua, tindakan tegas terhadap pelaku intimidasi. Akademisi mendesak pelaku intimidasi dijerat dengan pasal 18 ayat (1) Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers karena telah menghambat kerja jurnalistik.

“Dewan Pers perlu menerjunkan Satgas Anti-Kekerasan guna memastikan kepolisian
mengusut kasus ini dengan tuntas. Jurnalis melakukan kerja pers sebagai bentuk check and balances serta pengimplementasian tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi,” jelasnya.

Maka, segala bentuk intimidasi dan ancaman yang dilakukan merupakan bentuk penghalang-halangan kerja pers yang dapat berakibat pada terlanggarnya hak atas jaminan rasa aman bagi jurnalis serta terlanggarnya hak publik atas informasi.

Sementara itu, Dian Dwi Anisa dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menambahkan tuntutan khusus terkait pernyataan kontroversial Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi.

Ketiga, mereka meminta permintaan maaf dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi.

Dikatakan Dian, akademisi menuntut Hasan Nasbi meminta maaf secara terbuka atas pernyataannya yang dinilai tidak menghargai kebebasan pers.

“Ucapan yang menyarankan media untuk memasak kepala babi tersebut dianggap menunjukkan sikap kurang empati dari pemerintah dan memberi kesan bahwa media harus menerima intimidasi tanpa perlindungan. Pernyataan ini juga dinilai mencederai nurani serta akal sehat publik,” terangnya.

Keempat, pentingnya perspektif empati dalam pemerintahan. Dikatakan Dian, akademisi menegaskan bahwa pejabat negara, khususnya juru bicara presiden, harus memiliki perspektif yang lebih empatik dan menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi tanpa tekanan.

Selain itu, mereka juga menyoroti meningkatnya ancaman terhadap akademisi sejak akhir periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Puluhan akademisi, termasuk guru besar, mengalami intimidasi yang berdampak pada kebebasan akademik di Indonesia. Menurut mereka, fenomena ini semakin memperburuk situasi demokrasi di Tanah Air.

Mereka menegaskan bahwa pembungkaman terhadap kebebasan pers, berekspresi, dan akademik adalah tindakan inkonstitusional yang melanggar Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu, mereka menyerukan perlindungan bagi kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi agar demokrasi di Indonesia tidak hanya berjalan secara prosedural, tetapi juga secara esensial.

"Kami menyatakan solidaritas bersama Tempo, jurnalis, serta aktivis kebebasan berekspresi dalam melawan represi politik otoritarian," tegas pernyataan mereka. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved