Kasus Demam Berdarah Dengue di DI Yogyakarta Melonjak, 3 Pasien Meninggal

Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY mencatat adanya peningkatan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) hingga Maret 2024

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUN JOGJA/M FAUZIARAKHMAN
Ilustrasi: Dinas Kesehatan (Dinkes) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat adanya peningkatan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) hingga Maret 2024 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dinas Kesehatan (Dinkes) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat adanya peningkatan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) hingga Maret 2024.

Bahkan, peningkatan secara signifikan dibanding 2023. Hal tersebut diungkapkan Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes DIY, Setiyo Harini, Selasa (26/3).

"Dibandingkan tahun lalu dengan kurun waktu sama, ada kenaikan (kasus). Ada yang naik dua kali lipat, ada yang naik tiga kali lipat per kabupaten," jelasnya, Selasa (26/3).

Dijelaskannya, pada periode 2-23 Maret 2024 tercatat kasus DBD di wilayah DIY terbanyak terjadi di Gunungkidul dengan total 311 kasus, 2 di antaranya meninggal dunia.

Sedangkan di Bantul tercatat ada 76 kasus, Kota Yogyakarta sebanyak 45 kasus, Sleman dengan 56 kasus, dan Kulon Progo ditemukan 34 kasus.

"Angka tersebut bukan semuanya DB (demam berdarah), tapi juga demam dengue," jelas Setiyo.

"Kalau (angka) yang harus dilaporkan ke Kemenkes itu kan DBD, tapi di DIY sebagai bentuk kewaspadaan semua didata agar masyarakat lebih hati-hati. Sebab, semua disebabkan oleh nyamuk aedes aegypti," imbuhnya.

Terkait meninggalnya dua orang di Gunungkidul akibat DBD, Setiyo menjelaskan bahwa sejauh ini masih dalam proses audit. Namun ia mengatakan, ada dugaan meninggalnya dua orang tersebut lantaran keterlambatan penanganan.

"Karena memang dari pihak keluarga ada kekurangan tertentu, kami belum bisa publish karena masih diaudit. Tapi prinsipnya, audit kematiannya belum selesai dilakukan," tuturnya.

"Kalau secara teori, hal-hal yang menyebabkan kematian karena adanya keterlambatan penanganan, keterlambatan rujukan, karena memang pasien punya komorbid penyakit lain, sehingga makin memperparah atau karena memang daya tubuhnya lemah. Harapannya, (korban) tidak bertambah lagi," imbuhnya.

Gerakan Jumantik

Lebih lanjut Setiyo menjelaskan, penanganan disesuaikan dengan tingkat keparahan. Ada pasien yang bisa dirawat di rumah, namun ada pula yang harus dirawat di fasilitas pelayanan kesehatan.

Saat ini rumah sakit di Gunungkidul sudah disiapkan untuk penanganan pasien DBD. Setiyo pun berharap Gerakan satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik) atau dikenal dengan G1R1J dapat kembali digencarkan, lantaran dinilai sebagai upaya efektif dalam melakukan pemberantasan dan pencegahan penyebaran DBD.

Gerakan ini dilakukan dengan memilih seorang anggota keluarga di rumah untuk mengawasi jentik dan melaporkan secara berkala. Orang tersebut juga harus berperan sebagai agen perubahan dalam perilaku hidup bersih dan sehat.

Namun yang mungkin tidak disangka oleh masyarakat, pemberantasan dan pencegahan penyebaran DBD hanya berfokus pada area di dalam rumah. Sementara untuk area di luar rumah tidak terkontrol.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved