Pemilu 2024
Fakta-fakta MK Putuskan Pemilu Terbuka, Satu Hakim Dissenting Opinion, Sarankan Ini
Dengan putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, maka pemilu tetap memakai sistem proporsional terbuka. Artinya, masyarakat bisa memilih calon
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka.
Dengan putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, maka pemilu tetap memakai sistem proporsional terbuka.
Artinya, masyarakat bisa memilih calon legislatif, alih-alih memilih partai politiknya saja.
Berikut sejumlah fakta-fakta MK yang telah memutuskan pemilu dilakukan dengan terbuka:

1. Satu hakim miliki pendapat berbeda atau dissenting opinion
Dari sembilan hakim konstitusi, satu orang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Satu hakim tersebut yakni Arief Hidayat.
Hakim Arief menilai, gugatan pemohon uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menyoal tentang sistem pemilu proporsional terbuka sebagian beralasan menurut hukum.
Oleh karenanya, permohonan harusnya dikabulkan sebagian. Arief mengusulkan agar sistem pemilu di Indonesia diubah dari proporsional terbuka menjadi proporsional terbuka terbatas.
“Sistem pemilu proporsional terbuka terbatas, itulah yang saya usulkan,” ujarnya dalam sidang.
Menurut Arief, diperlukan evaluasi, perbaikan, dan perubahan terhadap sistem proporsional terbuka yang telah empat kali diterapkan yakni pada Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019.
Sistem pemilu proporsional terbuka terbatas dinilai diperlukan karena sejumlah alasan.
Dari perspektif filosofis dan sosiologis misalnya, sistem proporsional terbuka dianggap didasarkan pada demokrasi yang rapuh.
Baca juga: MK Tetapkan Sistem Proporsional Terbuka di Pemilu 2024, Ini Respons Partai Ummat DIY
Sebab, dengan sistem demikian, para calon anggota legislatif (caleg) bersaing tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat di pemilu.
Dengan begitu, muncul potensi konflik yang tajam akibat perbedaan pilihan politik, terutama di antara para caleg dan tim suksesnya dalam satu partai.
Tak jarang, konflik tersebut harus diselesaikan di MK karena partai tak dapat menanganinya.
Padahal, menurut Arief, pemilu seharusnya dilaksanakan dengan semangat gotong royong sebagai ciri khas dan karakter demokrasi di Indonesia, yakni demokrasi Pancasila.
“Peralihan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas sangatlah diperlukan,” katanya.
Arief mengatakan, usulan perubahan sistem pemilu ini bukannya menunjukkan inkonsistensi MK.
Menurutnya, ini sebagai upaya Mahkamah agar hukum di Indonesia adaptif dan peka terhadap perkembangan zaman serta perubahan masyarakat.
Namun demikian, lantaran tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai sejak Juni tahun lalu dan kini sedang berjalan, Arief mengusulkan agar perubahan sistem pemilu menjadi proporsional terbuka terbatas diterapkan pada Pemilu 2029.
“Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem usulan saya, sistem proporsional terbuka terbatas, dilaksanakan pada Pemilu 2029,” tuturnya.
2. Mendapat apresiasi dari pakar
MK memutuskan pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka.
Keputusan itu mendapatkan banyak apresiasi dari pakar.
Salah satunya, Pakar Konstitusi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka), Gugun El Guyanie, S.HI., LL.M.
Dia mengatakan sudah sepatutnya MK mengokohkan spirit demokrasi yang berjalan dinamis.
“Kalau MK memutus mengabulkan permohonan, sistem pemilu jadi tertutup, berarti demokrasi berjalan mundur ke belakang karena tahun 2008 ini, MK sudah memutuskan sistem pemilu menjadi proporsional terbuka,” ujarnya kepada Tribun Jogja, Kamis (15/6/2023).
Kata Gugun, kala itu, putusan Nomor 22/PUU/IV/2008 direspons positif oleh sebagian besar masyarakat, walaupun sebagian juga menolak.
“Dari sisi konsistensi, sistem pemilu terbuka kan menegakkan prinsip demokrasi, sejalan dan ekuivalen dengan pemilihan presiden yang juga pemilihan langsung oleh rakyat,” terangnya.
Pemilihan kepala daerah, kata dia, sejak tahun 2005 sudah dipilih langsung oleh rakyat.
Maka, menurut Gugun, wakil rakyat yang duduk di parlemen, juga idealnya ditentukan langsung oleh rakyat, bukan oleh elit parpol yang sering berbeda dengan daulat rakyat.
Dia melanjutkan, rakyat juga sudah masuk dalam atmosfer pendidikan demokrasi.
“Rakyat sudah belajar ikut menentukan pejabat publik, presiden dan wakilnya, gubernur dan wakilnya, bupati dan walikota beserta wakilnya. Sudah tiga kali pemilu memilih wakilnya di legislatif secara langsung,” tuturnya yang merupakan Sekretaris Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara UIN Suka itu.
3. Sidang dihadiri 8 hakim saja
Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, pembacaan putusan terhadap enam perkara hari dihadiri oleh delapan orang hakim MK. Satu orang hakim MK, Wahiduddin Adams tidak hadir lantaran tengah menjalankan tugas ke luar negeri.
"Hakim Wahiduddin sedang ada tugas MK ke luar negeri, berangkat tadi malam," kata Fajar mengutip Kompas.com, Kamis (15/6/2023).
Fajar menjelaskan, sidang pengucapan putusan tetap bisa dilakukan meski tidak dihadiri lengkap 9 hakim. Namun, di dalam aturan MK, seluruh hakim mesti lengkap saat sidang pleno penentuan putusan.
"Sidang pleno dihadiri oleh 9 hakim, dalam kondisi luar biasa dapat dihadiri 7 hakim," ucap Fajar.
Fajar melanjutkan, sidang pengucapan putusan baru batal dilakukan jika hakim MK yang hadir kurang dari tujuh orang.
Dengan demikian, ketidakhadiran hakim Wahiduddin tidak akan mengganggu jalannya sidang pengucapan putusan pada hari ini.
"Kurang dari 7 hakim, sidang pleno tidak dapat dilaksanakan," terang Fajar.
4. Siapa pemohon uji materi tentang pemilu?
Lewat gugatan ini, enam pemohon, yakni Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, lalu Yuwono Pintadi yang merupakan kader Partai Nasdem, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Adapun Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi,
“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka,” tulisnya kala itu.
Para pemohon berpendapat, sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan konstitusi.
Sebab, Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UUD 1945 menerangkan bahwa anggota DPR dan DPRD dipilih dalam pemilu, di mana pesertanya adalah partai politik.
Sementara, dengan sistem pemilu terbuka, pemohon berpandangan, peran parpol menjadi terdistorsi dan dikesampingkan.
Sebab, calon legislatif terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, bukan yang ditentukan oleh partai politik.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )
Pemilu 2024
Sistem Pemilu 2024
Putusan MK
putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi (MK)
Pemilu Terbuka
Mahkamah Konstitusi
KPU DIY Tetapkan 55 Calon Terpilih Anggota DPRD DIY 2024, 29 di Antaranya Petahana |
![]() |
---|
KPU Kulon Progo Tetapkan Perolehan Kursi dan Anggota Terpilih DPRD Kabupaten, PDIP Mendominasi |
![]() |
---|
DAFTAR Nama 55 Caleg Terpilih di DPRD DI Yogyakarta dari Pemilu 2024, PDI Perjuangan Raih 19 Kursi |
![]() |
---|
Penetapan Anggota DPRD DIY Tertunda Menunggu Hasil Sidang PHPU di MK |
![]() |
---|
Gugatan Caleg di MK Gugur, KPU Kota Yogya Segera Tetapkan Anggota DPRD Terpilih |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.