Penganiayaan Pelajar

Kejahatan Jalanan di Kalangan Pelajar DI Yogyakarta Masih Terjadi, Pakar UGM: Terpengaruh Kelompok

Menanggapi kasus tersebut, Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Bagus Riyono, MA, Psikolog mengatakan kejahatan jalanan itu bisa terjadi lantar

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
ist
ilustrasi 

“Si anak ingin disebut sebagai pahlawan. Jadi, kalau disebut pahlawan, dia bangga. Ada rasa bangga untuk dirinya sendiri,” bebernya.

Dikatakannya, setiap pelaku kejahatan, tidak akan memiliki kepekaan terhadap kondisi korban.

Menurut Bagus, ketidakpekaan itu muncul karena absennya pengasuhan orang tua yang masuk ke dalam hati, yang bisa membentuk karakter si anak.

“Orang tua perlu mengawasi dengan ketat anak-anak mereka karena ini berhubungan dengan gaya asuh orang tua, tidak berhubungan dengan kecerdasan anak itu sendiri,” jelas dia.

Bagus menjelaskan, pola asuh orang tua yang mencampakkan, tidak memberikan perhatian dan pendidikan dari hati ke hati, membuat anak jadi menemukan kebanggaan di luar, termasuk dengan kelompoknya.

Jangan terkecoh dengan anak-anak yang pintar secara akademik karena bagaimanapun logika dan hati harus diselaraskan.

“Bahaya itu kalau hatinya gak peka. Jadi, dia punya akal untuk melakukan kejahatan. Anak-anak ini merasakan ada sensasi, apalagi kalau mereka tidak punya keasikan lain,” terangnya.

Sementara, Dosen UGM yang merupakan inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal mengatakan adanya kejahatan jalanan ini juga terjadi lantaran perubahan dinamika di dalam keluarga, sekolah, relasi pertemanan, serta lingkungan masyarakat.

“Di pandemi Covid-19 kemarin misalnya, anak jadi sulit untuk memenuhi kebutuhannya untuk mengekspresikan diri. Padahal, manusia butuh aktualisasi diri dan mereka gak punya ruang untuk berekspresi di sekolah, keluarga dan masyarakat,” tuturnya.

Dia menyebut, anak banyak menghabiskan waktu di rumah, tapi relasi antarkeluarga tak baik.

Padahal, anak juga mengalami persoalan sendiri dan butuh mendapatkan perhatian dan pendampingan dari orang tua.

Ia menerangkan sejumlah pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencegah remaja terlibat dalam aktivitas negatif, salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang positif.

“Lingkungan positif harus dimaknai sebagai lingkungan yang memberi rasa aman bagi siswa untuk melakukan kegiatan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, juga dimaknai dengan adanya peran masyarakat yang terkecil dalam membangun kegiatan yang partisipatif,” paparnya.

Selain itu, sekolah dan keluarga perlu membangun penalaran dan kesadaran anak, memperbanyak ruang refleksi dalam proses belajar dan mendorong anak untuk mengenali potensi, keunikan, serta emosinya.

Dikatakan dia, anak perlu lebih banyak terlibat dalam kegiatan belajar yang berbasis masalah, di mana anak didorong untuk melakukan aktivitas yang positif bagi masyarakat.

“Anak tidak boleh teralienasi dari masyarakat. Belajar membangun rasa empati, dan sejak muda dia mengerti bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan diri, dan kompetensi sosialnya bermanfaat bagi orang lain, dengan begitu anak tidak merasa sebagai useless generation,” kata Rizal. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved