Sobat Filosofia UGM

Esem Bupati, Semu Mantri, dan Dhupak Bujang

Seorang ningrat dalam dunia pendidikan semestinya memiliki dan memelihara kesantunan dan kehalusan budi berbahasa dan berkomunikasi

zoom-inlihat foto Esem Bupati, Semu Mantri, dan Dhupak Bujang
Ist
Dr. Sindung Tjahyadi, Dosen Fakultas Filsafat UGM

Masyarakat mengalami perubahan cepat dan mendasar, termasuk dalam bentuk-bentuk komunikasi. Dinamika vertikal dalam masyarakat terjadi dengan intensitas yang sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Indikator yang bisa dirujuk adalah adanya penambahan jumlah kelas menengah hingga 150 % sejak tahun 1980an.

Banyak “ningrat-ningrat” baru, yang menilai diri sendiri sebagai patron, yang pada satu sisi tidak bisa sepenuhnya terlepas dari “rahim pendidikan keluarga”, namun juga gagap dalam mengadopsi norma-norma etika komunikasi para “ningrat” era dahulu. Terjadi disrupsi kultural dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya kekacauan “etika komunikasi”.

Bisa jadi memang sudah terjadi sejak dahulu, terbukti dari jejak semiotika adanya pepatah itu, yang merekam rumusan normatif tata komunikasi anggota masyarakat sesuai dengan kedudukannya. Ketika terjadi seorang bupati ditegur raja, maka sesungguhnya secara tidak langsung derajat komunikasi sang bupati turun, karena tak memahami “esem” sang raja.

Terlebih ketika seorang bupati “didhupak” oleh sang raja, maka kemampuan komunikasinya dinilai sangat rendah, setara “bujang” yang perlu “komunikasi fisik” agar memahami perintah. Namun bagaimana terjadi seorang pejabat tinggi ketika berkomunikasi dengan bawahannya selalu marah-marah dan bahkan tidak segan dengan bahasa fisik?

Disrupsi

Bagaimana pula terjadi seorang dengan jabatan akademik tertinggi tidak santun dalam berkomunikasi? Dalam masyarakat demokratis dan terbuka, salahkah ketika seorang ningrat dalam dunia pendidikan mengeluarkan ungkapan yang kasar yang tak sesuai dengan kedudukannya?

Disrupsi politik di dunia pendidikan merupakan kenyataan yang tidak perlu ditutupi. Pertempuran ideologis sebagai imbas dinamika global, merasuk juga pada dunia pendidikan kita. “Pawiyatan inggil” merupakan puncak dan muara pendidikan yang berhulu kepada pendidikan sejak dalam kandungan, PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Pendidikan tinggi pada satu sisi merupakan “puncak”, karena capaian kesempurnaan pengetahuan didapat dan dikembangkan di dalamnya, namun sekaligus muara dari “pendidikan karakter” yang telah terbentuk sejak dalam rahim. Di sinilah terjadi ketidak sambungan dan keterbelahan antara “rahim keluarga” dengan “rahim sosial”. Dalam batas tertentu “tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pendidikan tinggi” dalam pembentukan karakter orang-orang yang ada di dalamnya.

Internalisasi nilai dan ideologi dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan dunia maya, berjalan secara anomali bergantung dengan pergaulan individu dalam berbagai tingkat dan lapis relasi, dan anomali proses internalisasi nilai ini menyebabkan keterputusan komunikasi dalam pendidikan nilai.

Kondisi keterputusan komunikasi ini diperparah oleh perkembangan teknologi komunikasi yang menempatkan kuasa makna bukan lagi kepada negara, lembaga-lembaga masyarakat, atau pun keluarga, melainkan kepada individu. Fragmentasi sosial menjadi keniscayaan yang sulit diatasi.

Pada masyarakat, benar secara hukum, belum tentu benar secara moral, dan bisa jadi tidak sesuai dengan pilihan politis. Pada tingkat individu, “intelektualitas” tidak selalu sebangun dengan “moralitas”, tingkat pendidikan tidak selalu seiring dengan kesantunan bahasa. Bagaimana semua ini diatasi?

Elemen utama pembangun peradaban dan kebudayaan manusia adalah pendidikan. Adab menyangkut norma baik, dan budaya menyangkut pandangan dunia. Jalan yang ditempuh oleh sebuah bangsa ketika hendak membentuk diri, dilakukan melalui pendidikan dengan mengajarkan adab dan pandangan hidup bersama.

Sebagaimana terjadi di belahan dunia yang lain, tidak mungkin menafikan pertempuran ideologis dan perebutan pengaruh pandangan dunia dalam pendidikan.

Tidak mungkin pula mengisolasi dan menutup pengaruh ideologi pendidikan asing dalam sistem pendidikan kita, walau akibat jangka panjangnya bisa jadi sangat buruk kepada peradaban kita, terlebih jika memberi ruang untuk berkembangnya ideologi yang mengedepankan budaya kekerasan untuk mengatasi perbedaan.

Ketika seorang ningrat dunia pendidikan lekat dengan bahasa kekerasan, sesungguhnya mencerminkan adanya masalah serius dalam sistem pendidikan kita. Ada keterputusan dan keterbelahan nilai dalam pendidikan.

Jika yang berkembang dalam pendidikan kita adalah “budaya dhupak”, agaknya cita-cita Proklamasi untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” semakin kehilangan asa. Pilihan ada pada kita semua, dan saatnya masing-masing kita santun, cerdas dan tetap jujur dalam berkomunikasi, baik dalam keluarga, masyarakat, dan terlebih media sosial.

Salam waras. Salam Indonesia. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved