Sobat Filosofia UGM
Esem Bupati, Semu Mantri, dan Dhupak Bujang
Seorang ningrat dalam dunia pendidikan semestinya memiliki dan memelihara kesantunan dan kehalusan budi berbahasa dan berkomunikasi
*Oleh: Dr. Sindung Tjahyadi, Dosen Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta
JAGAD maya saat ini sedang gaduh karena adanya postingan seseorang yang dalam stratifikasi sosial dianggap memiliki kasta tertinggi namun gaya komunikasinya dinilai oleh banyak pihak tidak menunjukkan kesesuaian dengan tingkat intelektualitas yang bersangkutan.
Asumsi khalayak, seorang ningrat dalam dunia pendidikan semestinya memiliki dan memelihara kesantunan dan kehalusan budi berbahasa dan berkomunikasi. Komunikasi verbal maupun tertulis beliau, seharusnya sepadan dengan derajat akademik yang beliau emban, yakni seorang Maharsi, Guru Besar.
Pertanyaan yang muncul, mengapa masyarakat gaduh dengan fenomena kekacauan etika berkomunikasi tersebut? Mengapa pula fenomena anomali etika berkomunikasi tersebut muncul? Bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap kegaduhan tersebut? Apa yang kiranya perlu dibenahi dalam dunia pendidikan (tinggi) kita?
Masyarakat Jawa sejak dahulu mengenal pepatah “Esem Bupati, Semu Mantri, dan Dhupak Bujang” yang menyiratkan keterkaitan yang erat sekali antara kedudukan seseorang dengan sensitifitas atau daya tanggap dalam berkomunikasi.
Seorang Bupati yang diandaikan secara intelektual jauh lebih terdidik karena mengelola berbagai aspek dalam pemerintahan dan berkomunikasi dengan berbagai lapis masyarakat, diandaikan memiliki kemampuan berkomunikasi hingga pada taraf yang bisa secara tepat membaca sebuah senyuman (“esem”) sang raja.
Seorang ningrat secara normatif diandaikan mampu membaca apa yang tersirat dari bahasa tubuh junjungannya, dan secara normatif demikian pula seharusnya ketika sang ningrat hendak berkomunikasi dengan khalayak.
Ia harus membungkusnya dengan budi bahasa yang sepadan dengan kedudukannya. Diksi dan gaya bahasa yang dipilihnya harus sesuai dengan derajat sosial politiknya, mencerminkan intelektualitasnya, dan menggambarkan keluasan wawasan pengetahuannya.
Berbeda dengan “esem bupati”, seorang “mantri” (“camat”, “pembantu bupati”) yang diandaikan memiliki kompetensi yang lebih rendah dari bupati, menuntut adanya bentuk komunikasi yang lebih eksplisit, tersurat, yang dalam hal ini termuat dalam ungkapan “semu”, yang artinya “sindiran, teguran”.
Tak Harus Tersurat
Dengan demikian jika berkomunikasi dengan seorang ningrat, tak semua harus tersurat, karena “janma limpat seprapat tamat”, yang artinya “orang yang memiliki kemampuan tinggi, cukup dengan memahami sebagian, dia akan paham keseluruhan”.
Akan tetapi kepada seorang “mantri”, bentuk komunikasi yang simbolik tidak tepat, namun tetap perlu disampaikan secara eksplisit melalui sindiran atau teguran. Melalui sindiran atau teguran, seorang mantri akan paham dengan kesalahan yang dilakukannya dalam menjalankan tugas atau perintah pimpinannya.
Sang mantri melalui teguran diharapkan memahami apa yang harus dibenahi dalam kerjanya. Bagaimana jika dengan sindiran maupun teguran tidak paham?
Tingkat kompetensi komunikasi yang terbawah tidak lagi sindiran atau teguran melainkan sudah “dhupak”, tendangan. Tidak lagi verbal, melainkan fisik. Tidak lagi memukul dengan kata-kata, tetapi dengan tangan atau tendangan. Pesan bukan lagi diungkapkan melalui rangkaian pernyataan, tetapi disampaikan melalui ungkapan fisik yang memaksa subyek yang diajak berkomunikasi sungguh paham bahwa ia telah melakukan kesalahan.
Mengapa harus dengan memukul atau menendang baru paham? Karena memang diandaikan jika tidak melalui budaya kekerasan itu, yang bersangkutan tidak akan paham. Jika tidak melalui budaya kekerasan, pesan tidak akan sampai. Apakah “dhupak bujang” dengan demikian sah saja? Apakah masih sesuai untuk era yang mengedepankan kemanusiaan yang adil dan beradab?
Masyarakat mengalami perubahan cepat dan mendasar, termasuk dalam bentuk-bentuk komunikasi. Dinamika vertikal dalam masyarakat terjadi dengan intensitas yang sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Indikator yang bisa dirujuk adalah adanya penambahan jumlah kelas menengah hingga 150 % sejak tahun 1980an.
Banyak “ningrat-ningrat” baru, yang menilai diri sendiri sebagai patron, yang pada satu sisi tidak bisa sepenuhnya terlepas dari “rahim pendidikan keluarga”, namun juga gagap dalam mengadopsi norma-norma etika komunikasi para “ningrat” era dahulu. Terjadi disrupsi kultural dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya kekacauan “etika komunikasi”.
Bisa jadi memang sudah terjadi sejak dahulu, terbukti dari jejak semiotika adanya pepatah itu, yang merekam rumusan normatif tata komunikasi anggota masyarakat sesuai dengan kedudukannya. Ketika terjadi seorang bupati ditegur raja, maka sesungguhnya secara tidak langsung derajat komunikasi sang bupati turun, karena tak memahami “esem” sang raja.
Terlebih ketika seorang bupati “didhupak” oleh sang raja, maka kemampuan komunikasinya dinilai sangat rendah, setara “bujang” yang perlu “komunikasi fisik” agar memahami perintah. Namun bagaimana terjadi seorang pejabat tinggi ketika berkomunikasi dengan bawahannya selalu marah-marah dan bahkan tidak segan dengan bahasa fisik?
Disrupsi
Bagaimana pula terjadi seorang dengan jabatan akademik tertinggi tidak santun dalam berkomunikasi? Dalam masyarakat demokratis dan terbuka, salahkah ketika seorang ningrat dalam dunia pendidikan mengeluarkan ungkapan yang kasar yang tak sesuai dengan kedudukannya?
Disrupsi politik di dunia pendidikan merupakan kenyataan yang tidak perlu ditutupi. Pertempuran ideologis sebagai imbas dinamika global, merasuk juga pada dunia pendidikan kita. “Pawiyatan inggil” merupakan puncak dan muara pendidikan yang berhulu kepada pendidikan sejak dalam kandungan, PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Pendidikan tinggi pada satu sisi merupakan “puncak”, karena capaian kesempurnaan pengetahuan didapat dan dikembangkan di dalamnya, namun sekaligus muara dari “pendidikan karakter” yang telah terbentuk sejak dalam rahim. Di sinilah terjadi ketidak sambungan dan keterbelahan antara “rahim keluarga” dengan “rahim sosial”. Dalam batas tertentu “tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pendidikan tinggi” dalam pembentukan karakter orang-orang yang ada di dalamnya.
Internalisasi nilai dan ideologi dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan dunia maya, berjalan secara anomali bergantung dengan pergaulan individu dalam berbagai tingkat dan lapis relasi, dan anomali proses internalisasi nilai ini menyebabkan keterputusan komunikasi dalam pendidikan nilai.
Kondisi keterputusan komunikasi ini diperparah oleh perkembangan teknologi komunikasi yang menempatkan kuasa makna bukan lagi kepada negara, lembaga-lembaga masyarakat, atau pun keluarga, melainkan kepada individu. Fragmentasi sosial menjadi keniscayaan yang sulit diatasi.
Pada masyarakat, benar secara hukum, belum tentu benar secara moral, dan bisa jadi tidak sesuai dengan pilihan politis. Pada tingkat individu, “intelektualitas” tidak selalu sebangun dengan “moralitas”, tingkat pendidikan tidak selalu seiring dengan kesantunan bahasa. Bagaimana semua ini diatasi?
Elemen utama pembangun peradaban dan kebudayaan manusia adalah pendidikan. Adab menyangkut norma baik, dan budaya menyangkut pandangan dunia. Jalan yang ditempuh oleh sebuah bangsa ketika hendak membentuk diri, dilakukan melalui pendidikan dengan mengajarkan adab dan pandangan hidup bersama.
Sebagaimana terjadi di belahan dunia yang lain, tidak mungkin menafikan pertempuran ideologis dan perebutan pengaruh pandangan dunia dalam pendidikan.
Tidak mungkin pula mengisolasi dan menutup pengaruh ideologi pendidikan asing dalam sistem pendidikan kita, walau akibat jangka panjangnya bisa jadi sangat buruk kepada peradaban kita, terlebih jika memberi ruang untuk berkembangnya ideologi yang mengedepankan budaya kekerasan untuk mengatasi perbedaan.
Ketika seorang ningrat dunia pendidikan lekat dengan bahasa kekerasan, sesungguhnya mencerminkan adanya masalah serius dalam sistem pendidikan kita. Ada keterputusan dan keterbelahan nilai dalam pendidikan.
Jika yang berkembang dalam pendidikan kita adalah “budaya dhupak”, agaknya cita-cita Proklamasi untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” semakin kehilangan asa. Pilihan ada pada kita semua, dan saatnya masing-masing kita santun, cerdas dan tetap jujur dalam berkomunikasi, baik dalam keluarga, masyarakat, dan terlebih media sosial.
Salam waras. Salam Indonesia. (*)