Yogyakarta

Klaim Biaya Perawatan COVID-19 Bermasalah, RS Swasta di DI Yogyakarta Menjerit

Sejak dilanda pandemi COVID-19 biaya operasional rumah sakit membengkak akibatnya kondisi rumah sakit swasta di DIY kini di ujung tanduk.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Suluh Pamungkas
ilustrasi 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejak Maret 2020 rumah sakit swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjerit.

Penyebabnya klaim pembayaran perawatan pasien covid-19 dari pemerintah belum sepenuhnya dibayarkan kepada rumah sakit swasta.

Selain itu Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) DIY juga mengatakan sejak dilanda pandemi COVID-19 biaya operasional rumah sakit membengkak akibatnya kondisi rumah sakit swasta di DIY kini di ujung tanduk.

Wakil Ketua ARSSI cabang DIY dr Y Agus Wijanarka Mkes, mengatakan saat ini masih ada beberapa persoalan, termasuk klaim pembayaran pasien covid-19 untuk rumah sakit swasta.

Ia mencontohkan, di salah satu rumah sakit swasta tempatnya bernaung yakni RS Panti Rini pembayaran biaya perawatan masih terus berjalan.

Baca juga: Warga Bisa Cek Ketersediaan Tempat Tidur Rumah Sakit di DI Yogyakarta Melalui Siranap

Namun pihaknya menemukan pengajuan pembayaran perawatan pasien covid-19 di rumah sakitnya masih mengalami kendala dispute claim atau ketidak sepakatan pihak BPJS kesehatan dengan fasilitas kesehatan terhadap klaim pembayaran yang diajukan berdasarkan berita acara pengajuan klaim.

"Untuk gambaran umum di RS Panti Rini pembayaran berjalan sampai  Desember 2020 kemarin. Tapi masih ada dispute claim sebesar 52 persen yang harus diselesaikan melalui Kemenkes," katanya, kepada Tribunjogja.com, belum lama ini.

Sementara untuk kondisi rumah sakit swasta secara umum, pria yang kerap disapa Agus ini menjelaskan untuk saat ini hampir seluruh rumah sakit swasta di DIY membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

Pasalnya, proses klaim pembayaran biaya perawatan yang memakan waktu cukup lama membuat operasional rumah sakit swasta terganggu.

"Proses verifikasi kelengkapan kriteria untuk pengajuan klaim sesuai pedoman memakan waktu yang lama. Kurang lebih satu bulan," ujarnya.

Pengakuan dr. Agus hanyalah satu dari sekian banyak rumah sakit swasta yang mulai kedodoran akibat biaya operasional tak sejalan dengan pendapatan yang masuk dari biaya perawatan pasien.

Sementara untuk data tunggakan pembayaran biaya perawatan pasien covid-19 rumah sakit swasta secara menyeluruh di DIY, secara khusus dirangkum oleh sekretariat ARSSI DIY sejak Maret hingga saat ini. 

Hasilnya total klaim pembayaran biaya perawatan pasien covid-19 yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada rumah sakit swasta sebesar Rp100 miliar.

Baca juga: KISAH Petugas Kebersihan Rumah Sakit RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Saat Pandemi Corona

Dari jumlah tersebut, 27,5 persen masih dalam status dispute claim.

Sementara 72,5 persen sisanya telah disetujui oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Jadi total klaim pembayaran perawatan baik itu rawat inap, maupun rawat jalan itu sekitar Rp100 miliar," kata Sekretaris ARSSI Cabang DIY dr Bima Achmad Bina Nurutama, melalui sambungan telefon, Jumat (29/1/2021).

Ia menjelaskan, jenis klaim khusus penanganan COVID-19 ada dua yakni klaim yang layak dan klaim yang tidak layak atau dispute claim.

Menurutnya untuk dispute claim yang menyelesaikan nantinya langsung dari Kemenkes, dengan jangka pembayaran yang semakin tidak menentu.

"Kalau dispute claim tidak tahu, apakah lebih lama pembayarannya," ungkapnya.

Bima enggan menyebut rumah sakit mana saja yang kini masih belum menerim klaim pembayaran biaya perawatan pasien covid-19 tersebut.

Namun yang pasti, dari 72,5 persen klaim yang sudah dinyatakan layak untuk mencairkan pembayaran biaya perawatan, sebagian rumah sakit tetap saja belum bisa mencairkan biaya perawatan tersebut.

Baca juga: DPRD DI Yogyakarta Desak Penambahan Kamar Perawatan COVID-19 di Rumah Sakit

"Belum ada klarifikasi lebih lanjut, mengapa Kemenkes belum mencairkan klaim kami meski sudah dinyatakan layak," terang dia.

Idealnya, lanjut Bima, begitu berita acara klaim pembayaran biaya perawatan pasien covid-19 telah dinyatakan lolos, maka selang tiga hari klaim tersebut semestinya sudah turun.

"Tapi teman-teman itu dari Oktober sampai sekarang ada yang belum cair. Ya hampir empat bulan," tegasnya.

Ia belum memastikan lebih lanjut rumah sakit swasta mana saja yang verifikasi dan validasinya sudah layak namun uang klaim pembayaran perawatannya belum turun.

"Belum kami data lebih lanjut, tapi laporan itu ada lewat kuisioner yang sudah kami lakukan," ujar pria yang juga sebagai Direktur RS Islam Yogyakarta PDHI ini.

Untuk kendala dalam verifikasi pengajuan klaim pembayaran biaya perawatan pasien covid-19 ini menurutnya terletak pada saat proses administrasi, misalnya hasil laboratorium yang belum dicantumkan hingga persoalan administrasi lainnya.

Sementara dalam klaim penanganan covid-19 ini menurutnya berbeda dengan klaim di BPJS pada umumnya.

"Kalau di BPJS itu kan kalau tidak layak bisa di-pending. Nah kalau COVID-19 ini kalau kurang administrasinya saja bisa langsung dispute claim masuknya," terang Bima.

Baca juga: Dilematika Penambahan Kapasitas Rumah Sakit Rujukan Covid-19, Dinkes Gunungkidul: SDM Kita Terbatas

Enam Bulan Sisa Waktu Bertahan

Selain persoalan klaim pembayaran biaya perawatan pasien covid-19, rumah sakit swasta kini juga jatuh bangun agar tetap bisa melakukan pelayanan kesehatan.

Bima mengatakan, saat ini rumah sakit swasta membutuhkan dukungan dari beberapa pihak agar dapat bertahan.

Karena adanya COVID-19 ini secara biaya operasional di rumah sakit turut berpengaruh misalnya pengadaan obat-obatan, apd, serta gaji karyawan akan bertambah.

Sementara uang dari customer atau para pasien tidak berubah, apalagi jika pasien tersebut menggunakan BPJS.

"Rumah sakit akan mengeluarkan biaya tambahan mulai dari perubahan struktur, pengadan apd, obat-obatan dan alat kesehatan pendukung. Di rumah sakit saya saja biaya operasional naik hingga 20 sampai 30 persen. Dan cash flow kami sejak Maret negatif," tegasnya.

Saat ini tercatat sudah ada 56 anggota ARSSI DIY, 28 di antaranya ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan swasta dalam penanganan COVID-19.

Ditanya berapa lama rumah sakit swasta mampu bertahan untuk ke depannya, Bima menegaskan jika dalam enam bulan ke depan kondisi tetap seperti saat ini, menurutnya akan banyak rumah sakit swasta yang semakin kesulitan.

Dari 28 rumah sakit swasta rujukan COVID-19 yang tergabung di ARSSI DIY menurutnya sekitar 5 hingga 10 rumah sakit akan terancam kolaps.

"Lima sampai 10 rumah sakit kalau tidak ada penanganan cukup baik, kondisi seperti saat ini berkepanjangan, tentu akan kolaps," ungkap Bima.

Baca juga: Pemkab Kulon Progo Upayakan Penambahan Ruang Isolasi Covid-19 di Rumah Sakit Rujukan dan Swasta

Tetap Survive

Tak bisa dipungkiri, suntikan dana operasional untuk rumah sakit swasta kemungkinan sangat terbatas.

Hal itu diakui oleh Bima, lalu bagaimana caranya rumah sakit swasta ini dapat bertahan?

Bima menjelaskan, sumber dana untuk mendorong operasional rumah sakit swasta di tengah pandemi Covid-19 ini beragam.

Pertama, mereka mengandalkan tabungan rumah sakit, entah itu dari yayasan maupun sumber lainnya.

Kedua, rumah sakit swasta memanfaatkan sektor usaha lain yang masih dalam satu naungan dengan rumah sakit.

Ketiga, meminta subsidi dari yayasan untuk melanjutkan operasional baik itu belanja obat-obatan maupun keperluan lainnya.

Keempat, membuka donasi kepada masyarakat dan terakhir efisiensi kerja oleh para karyawan.

"Kalau efisiensi ini ya pelayanan tetap buka tapi hanya setengah. Misalnya untuk biaya operasional operasi di tengah pandemi ini tentu harus nambah apd dan sebagainya, nah hal semacam itu yang kami siasati," terang Bima.

Baca juga: Kurangi Beban RS Rujukan Covid-19, Sri Sultan HB X : OTG Tak Harus Dirawat di Rumah Sakit

Adakah UGD yang Tutup?

Sejak Desember kemarin, 16 persen dari total 56 rumah sakit swasta anggota ARSSI DIY sudah mengalami penutupan UGD.

Data terakhir pada 28 Januari kemarin, data tersebut meningkat hingga 32 persen rumah sakit swasta menutup pelayanan UGD.

"Artinya jarak satu bulan saja naik menjadi 32 persen. Mereka menutup pelayanan UGD," tuturnya.

Penyebab rumah sakit swasta menutup pelayanan UGD tersebut dikarenakan pasien yang berada di UGD tidak dapat dipindahkan ke bangsal.

Jika yang datang merupakan pasien covid-19 tanpa gejala menurutnya sangat dimungkinkan pasien tersebut untuk menjalani rawat jalan, namun jika yang datang dengan kondisi klinis yang cukup berat maka rumah sakit sulit untuk menolak.

"Akhirnya pasien tersebut terpaksa masuk UGD. Dan persoalan lainnya, ketika harus dipindah ke bangsal kebanyakan rumah sakit swasta banyak yang belum memenuhi kualifikasi. Misalnya dari segi nakes maupu fasiltas penunjang lainnya, akhirnya tertahan," ungkap Bima.

Baca juga: Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Angkat Bicara Soal Antrean Pelayanan Kasus Covid-19 di IGD Rumah Sakit

Ia juga menjelaskan bahwa 2/3 hingga 4/5 pasien yang masuk ke bangsal merupakan datang dari UGD.

Itu artinya apabila UGD tutup dalam dua atau tiga hari, secara otomatis pelayanan di bangsal akan terhenti.

"Tapi bukan itu yang kami pikirkan. Persoalannya jika UGD tutup, pasien umum juga ikut terdampak. Mereka tidak akan mendapat golden time saat penanganan darurat," jelasnya.

Dampaknya, akan terjadi peningkatan kecacatan, hingga kematian dari pasien umum.

"Jelas itu akan terjadi, karena misalnya pasien kecelakaan butuh penanganan tapi UGD tutup kan akhirnya tidak mendapat pelayanan," urainya.

Dari sejumlah persoalan tersebut, Bima meminta kepada pemerintah di antaranya klaim pembayaran perawatan bisa mudah terjamin, penyumbangan APD, dan bentuk kemudahan lainnya.

"Tetapi yang lebih kami inginkan pemerintah harus ada kontrol yang ketat terkait penerpaan protokol kesehatan. Supaya masyarakat tetap sehat," pungkasnya.

Tanggapan BPJS Kesehatan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) cabang Yogyakarta turut menanggapi persoalan klaim biaya perawatan pasien covid-19 yang terhambat di rumah sakit swasta DIY.

Kepala Cabang BPJS Yogyakarta Dwi Hesti Yuniarti menjelaskan, pihaknya hanya selaku virikator dalam upaya pencairan klaim biaya perawatan pasien covid-19.

"Kami hanya memverifikasi saja, untuk anggarannya ada di Kemenkes," jelasnya, saat dihubungi Tribunjogja.com, Jumat (29/1/2021).

Dwi melanjutkan, pihaknya tidak dapat mengupayakan apa pun terkait hambatan yang kini dialami oleh sebagian besar rumah sakit swasta di DIY dalam proses klaim biaya perawatan COVID-19.

Dirinya juga tidak memiliki kewenangan atas belum cairnya klaim biaya perawatan pasien covid-19 meski secara administrasi sudah terverifikasi oleh BPJS.

"Yang bisa jawab itu harusnya Kemenkes, karena soal biaya mereka yang menentukan," tegas Dwi.

Ditanya adanya dispute claim sebesar 27,5 persen yang dialami rumah sakit swasta dalam hal pencairan biaya perawatan pasien covid-19, Dwi beranggapan bahwa kemungkinan besar rumah sakit tersebut kurang melengkapi dokumen pencairan.

"Ya mungkin salah satu syarat administrasinya ada yang terlewat. Itu pun yang menentukan dari Kemenkes. Dan kami hanya sebagai verifikasi saja. Begitu berkas masuk, lalu terverifikasi selanjutnya jadi kewenangan Kemenkes," pungkasnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved