Pondok Tetirah Dzikir Bina Ratusan Pecandu Napza dan Orang Gangguan Jiwa
Saat ini ada 100 penyandang gangguan jiwa dan mantan pecandu napza yang menjalani rehabilitasi di Pondok Tetirah Dzikir.
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Beberapa kali pindah tempat, hingga pernah menjadi pengungsi istimewa saat erupsi Merapi 2010, Tri dan para santrinya akhirnya menempati bangunan di Dusun Kuton, Tegaltirto, Berbah, Sleman sejak 2014.
Bangunan pondok pesantren itu berjarak dari pemukiman warga.
Untuk mencapainya harus melewati jalanan tanah setapak, sehingga cukup sulit saat hujan.
Pondok terletak di dekat sungai dan dikelilingi persawahan.
Suasana hijau dan asri menyegarkan.
Ada pula kolam ikan dan domba yang dipelihara pesantren.
Tri selama ini membuang jauh-jauh stigma bahwa orang yang dibinanya adalah pasien.
Mereka dianggap sebagai sesama manusia, sesama hamba Allah.
Pendekatan yang dilakukannnya adalah pendekatan spiritual dengan toriqoh qodriyah wa na’syabandiyah, ilmu yang dia dapat dari Pesantren Suryalaya.
“Di sini kami ajak mereka untuk riyadhoh. Dengan cara berzikir, salat lima waktu berjamaah, salat duha, dan tahajud,” papar Tri.
Untuk pendanaan dan biaya operasional selama ini, Tri mengaku tidak pernah mengajukan proposal ke pihak lain.
Namun, banyak pemeduli yang memintanya untuk membuat proposal, baru kemudian ia membuatnya.
“Amanah dari Abah Anom, Allah pasti akan menolong. Awal-awal kami pernah hanya bisa membiayai untuk makan Rp3 ribu per orang. Sarapan Rp1 ribu, siang Rp1 ribu, dan malam Rp1 ribu,” ungkapnya.
Namun, kini santri-santrinya sudah cukup sejahtera untuk kebutuhan makan sehari-hari.
• Dorong Pengusaha Muda, Muhammadiyah Bangun Pondok Pesantren Wirausaha
Meski demikian, ia masih perlu berbenah untuk banyak sisi yang lain.
Misalnya, kebutuhan akan tenaga profesional, semisal psikolog dan dokter.
“Pernah ada yang datang ke sini tapi tidak bisa nyambung. Tidak satu frekuensi. Karena mereka menarik biaya, kami tidak punya. Hubungannya transaksional kerja. Kalau ada tenaga profesional yang mau membantu dengan ikhlas, digerakkan qolbu, itu ideal sekali. Kami terbuka,” tuturnya.
Sementara, dari pihak keluarga santri pun Tri tidak pernah menetapkan biaya.
Mereka dipersilakan berinfak sukarela.
Pernah ada donasi yang datang dari Baitul Mal PLN, jJuga Mandiri Amal Insani yang setiap bulan memberi bantuan untuk upah para relawan.
Selebihnya, bantuan datang dari masjid-masjid sekitar dan masyarakat.
Hingga kini, Tri menuturkan, pesantrennya masih membutuhkan bantuan hingga santrinya dapat hidup dengan layak.
“Kami merasa masih jauh dari memadai. Setidaknya ada asrama yang layak, ruang khalwat (ruang untuk menenangkan diri bagi santri yang berperilaku destruktif, semisal sakau) yang memadai, juga dukungan dari pemerintah yang menghargai muatan lokal, tidak mementingkan formalitas semata,” tukasnya.
• Mengenal Pondok Pesantren An-Nur Sewon, Ponpes Tahfidz Alquran
Seorang santri yang sempat ditemui Tribunjogja.com di kesempatan yang sama, Ahmad Mahfuri (23), mengaku datang ke Pesantren Tetirah Dzikir pada November 2019.
“Saat itu saya sudah setengah sadar. Akibat mengonsumsi pil-pil dan minuman keras. Saya tahu info pesantren dari mbak ipar,” ujar pria asal Kebumen itu.
Begitu masuk ke pesantren, Ahmad dipindahkan ke ruang khalwat.
Dia diajak untuk banyak berzikir.
“Saya sering mendengar salawat zikir, ada getaran. Lalu saya sambal mengucap zikir juga,” jelas Ahmad.
Tidak lama berselang, pada 17 Desember kondisi Ahmad sudah sepenuhnya pulih.
Hingga kini ia masih tinggal di pesantren sebagai \seorang relawan.
“Di sini menyenangkan. Saya membantu memandikan, menggantikan pakaian dan nyapu-nyapu,” tukasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)