Yogyakarta
Polemik Persoalan Honorer DIY, Pemprov DIY Sebut PPPK Jadi Solusi
Hal ini menjadi salah satu alternatif untuk menyelesaikan persoalan honorer di Pemprov DIY.
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah Provinsi DIY menyebut honorer di lingkungan pemerintahan dimungkinkan akan mempergunakan skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Hal ini menjadi salah satu alternatif untuk menyelesaikan persoalan honorer di Pemprov DIY.
"Nanti jalan keluar untuk (honorer) kemungkinan pakai opsi PPPK. Hal ini agar pegawai lebih tertata," ujar Sekda DIY, Gatot Saptadi, baru-baru ini.
Menurut Gatot persoalan honorer memang sangat kompleks. Problem ini pun dialami di setiap Pemda tak hanya Pemprov DIY.
Diantaranya, ada guru yang masih mau dibayar Rp 800 ribu per bulan sebagai honorer.
Di satu sisi ada beban anggaran, di sisi lain sekolah membutuhkan dan honorer bersedia dibayar.
"Pembayaran ini biasanya pakai anggaran dari komite atau dana BOS," ujarnya.
Baca: Pendaftaran PPPK 2019, Solusi untuk Guru Honorer yang Lama Mengabdi
Perlu diketahui Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Aturan ini membuka peluang seleksi dan pengangkatan bagi tenaga honorer yang telah melampaui batas usia pelamar pegawai negeri sipil (PNS).
Gatot menambahkan, satu persoalan mengenai opsi PPPK adalah anggaran.
Dia juga mempertanyakan setelah menggunakan opsi PPPK, anggaran tersebut akan diambilkan dari pagu mana.
"Ini yang menjadi persoalan anggarannya siapa. Ini nanti sebatas kekuatan Pemda saja," kata dia.
Di lingkungan Pemprov DIY terdapat beberapa kategori pegawai non PNS.
Ada yang diangkat menggunakan SK Gubernur dan ada yang diangkat oleh masing-masing organisasi pemerintah daerah (OPD).
"Untuk anggaran non PNS dengan SK Gubernur dianggarkan dengan APBD dan anggaran dikeluarkan melalui BPKAD. Sementara untuk honorer bukan SK Gubernur dianggarkan melalui kegiatan masing-masing OPD," kata dia.
Baca: Rencana Anggaran Tukin ASN Naik, Pemprov DIY Efektifkan Perjalanan Dinas dan Rapat
Pegawai non PNS ini, urai dia, sangat dibutuhkan karena beberapa bidang yang tidak mungkin dihandel seorang ASN. Seperti petugas kebersihan dan driver kendaraan operasional atau dinas.
"Harus diakui kerja non PNS ini bagus-bagus. Dan, khawatir saya ke depan justru banyak non PNS dibanding PNS," urainya.
Dalam kesempatan itu, Sekda juga menyebutkan ada empat lowongan cpns yang tidak terisi.
Beberapa lowongan yang tidak terisi ini karena sepi pendaftar.
"Sudah final hasik rekrutmen CPNSnya. Ada empat lowongan yang kosong, diantaranya guru agama Katolik, Kristen, serta analis," urainya.
Dia menyebutkan, untuk pemberkasan dan pemberian SK CPNS tersebut masih menunggu dari pemerintah pusat.
Hanya saja, kata dia, pemberian SK tersebut dimungkinkan mundur.
"Saya memperkirakan bisa mundur ada Pemilu juga pada bulan Maret. Namun, kami tunggu pusat," jelasnya.
Keberatan
Pengurus Forum Honorer K2 DIY, Eko Mujiyanta menolak PPPK untuk solusi penyelesaian K2 Indonesia.
Dia menyebutkan, jika masuk PPPK berarti harus siap konsekuensinya.
Yakni, status K2nya hilang.
"Selain itu, masa kontrak hanya 2 tahun dan dalam UU ASN tidak ada klausul daru PPPK bisa menjdi PNS," katanya.
Baca: Cegah Klitih, Pemprov DIY Programkan Sat Pol PP Go to School
Selain itu PPPK juga akan jadi profesi yang semula disandangnya atau tidak bisa berkembang, tidak bisa naik jabatan, tidak bisa naik golongan, dan lainnya.
PPPK juga tidak mendapatkan tunjangan pensiun dan tunjangan hari tua.
Seorang PPPK juga sewaktu-waktu akan diberhentikan sesuka hati oleh pembuat kebijakan yang menandatangani PPPK dengan pemutusan hubungan perjanjian kerja.
Di samping itu, perekrutannya harus melalui enam tahap, bersaing dengan umum dan usia muda 20 tahun sampai masa BUP 58 tahun.
Serta, harus menjalani seleksi administrasi, TKD dan TKB.
Di samping itu, hak PPPK dan PNS ada di pasal 21 dan 22 PP 49/2018.
Adanya aturan ini juga membuka peluang celah oknum-oknhm yang tidak bertanggungjawab seperti KKN, Duit Dekat Dulur (D3).
"Karena ajuan formasi dan kebijaksanaan dikembalikan ke daerah masing-masing dimungkinkan ada permainan atau banyak tititpan. Ujungnya beli SK cpns atau kursi," jelas Eko yang juga Ketua Forum Honorer K2 Sleman ini. (TRIBUNJOGJA.COM)