Tanggapan Pakar Hukum Pidana UMY soal RUU KUHAP

Kejaksaan mestinya bisa masuk dalam penyidikan untuk menentukan pasal yang digunakan. Dengan demikian, ada komunikasi

Istimewa
Pakar Hukum Pidana Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) , Trisno Raharjo. 

Ringkasan Berita:
  • Pakar Hukum Pidana UMY Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum.mengritisi RUU KUHAP yang menjadi sorotan.
  • Ia menilai saat ini masih ada masalah pembagian kewenangan masing-masing tahapan, seperti penyidikan, penuntutan, dan persidangan.

 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah mendapat sorotan dan kritik dari masyarakat. Hal itu karena ada beberapa pasal yang dinilai kontroversial.

Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. mengatakan RUU KUHAP menjadi persoalan akibat tidak segera diperbaiki saat KUHP disahkan, meski baru akan berlaku 2 Januari 2026. Namun saat inipun KUHAP belum selesai dibahas. 

“Banyak kekhawatiran penahanan akan batal akibat tidak disahkan KUHAP tanggal 2 Januari 2026. Meskipun ada keharusan untuk segera mengesahkan, penyusunan tidak dapat dilakukan secara serampangan,” katanya, Senin (17/11/2025).

Ia menilai saat ini masih ada masalah pembagian kewenangan masing-masing tahapan, seperti penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Menurut dia, perlu ada penegasan kontrol kewenangan penyidikan oleh penuntut umum melalui pendekatan dominuslitis. 

Komunikasi penyidik dan JPU

Kejaksaan mestinya bisa masuk dalam penyidikan untuk menentukan pasal yang digunakan. Dengan demikian, ada komunikasi antara penyidik dan penuntut umum. 

Trisno mencontohkan kasus dua guru di Sulawesi Selatan yang ditahan karena menarik iuran Rp 20 ribu kepada orangtua siswa.

“Itu kan kita nggak bisa menyalahkan jaksa, karena proses pertamanya di penyidikan. Seharusnya penyidik itu juga dipersoalkan dong. Nah, kalau ada komunikasi dengan kejaksaan, itu kan jelas, sudah ada diskusi yang clear. Sehingga penuntut tidak merasa harus menuntut karena sudah dilimpahkan,” terangnya.

“Untuk menentukan pasal mana yang digunakan, bukan kepolisian semata-mata. Kejaksaan perlu terlibat dalam dominuslitis, meskipun sepertinya kepolisian masih keberatan. Masih ada waktu lah, meskipun mepet banget,” sambungnya.

Ia juga menyoroti soal praperadilan yang sifatnya sangat formalitas. Perlu diatur pengujian secara materiil terkait proses penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, penyitaan, penggeledahan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Penyelidikan juga patut menjadi objek praperadilan.

Dengan demikian, segala proses penangkapan dan selanjutnya sesuai dengan tahapan yang semestinya. Namun, yang terjadi saat ini polisi bisa menangkap tanpa surat, bahkan surat penangkapan bisa dibuat belakangan.

“Nggak boleh buktinya hanya formal saja, maka bukti harus material. Harus dibuktikan bahwa misalnya apakah dia telah terkumpul bukti yang cukup, kemudian telah dilakukan pemeriksaan atau penggeledahan yang benar. Itu kan kewajiban yang terabaikan,” paparnya.

Kewenangan PPNS

Ia juga menganggap perlu untuk memberikan kewenangan kepada penyidik PPNS untuk setara dengan penyidik Polri. Sehingga selain KPK, Kejaksaan, dan TNI AL, semua berkedudukan sama dengan kepolisian.

Di samping ia juga menyinggung soal laporan polisi model A. Ia memandang aturan tersebut harus dipertegas dalam KUHAP, bukan dijabarkan dalam aturan kepolisian.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved